KAPITALISASI PENDIDIKAN: BERMULA DARI ISTILAH


Di Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang menguntungkan secara terbuka (diiklankan) itu merupakan fenomena baru yang menonjol dalam satu dekade terakhir. Sampai awal dekade 1990-an pendidikan masih tetap dipandang sebagai hak yang melekat pada setiap warga. Oleh sebab itu, Rezim Orde Baru selalu membuat perencanaan mengenai bagaimana memenuhi hak tersebut kepada setiap warga, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pada tingkat dasar dilakukan melalui program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang diharapkan tahun 2004 lalu sudah tuntas. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, direncanakan pada tahun 2010 angka partisipasi pendidikan tinggi (orang yang berusia 19 – 24 tahun dapat kuliah) mencapai 25%.

Terlepas dari sistem politik Orde Baru yang sangat otoriter, perencanaan itu sangat kuantitatif, serta ditopang oleh utang luar negeri yang besar, tapi perencanaan itu memperlihatkan adanya pengakuan dari negara mengenai pendidikan sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya. Ini sejalan dengan deklarasi hak asasi manusia yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan” (Deklarasi HAM, pasal 26).
Meskipun demikian, gejala komoditifikasi pendidikan itu juga dimulai sejak Orde Baru. Hanya saja sifatnya belum sevulgar sekarang. Secara tersamar sudah mulai tampak sejak dekade 1980-an, diawali dengan memasarkan produk-produk industri ke sekolah-sekolah, seperti seragam sekolah, sepatu, buku tulis, buku pelajaran, paket wisata, asuransi, dsb. Tapi komoditifikasi itu lebih banyak terjadi pada murid SD – SMTA. Mungkin karena jumlah muridnya banyak sehingga menjadi pangsa pasar yang subur. Untuk tingkat perguruan tinggi relatif belum terjadi.

Komoditifikasi pada tingkat perguruan tinggi baru mulai terjadi pada awal dekade 1990-an ditandai dengan pembukaan program ekstension di PTN-PTN terkemuka. Sebelumnya di beberapa PTN sudah membuka program ekstension, tapi sifatnya baru sporadis. Program ekstension ini segera memperoleh sambutan meriah dari masyarakat karena dua hal: Pertama, dari segi biaya relatif murah dibandingkan dengan kuliah di PTS, dan kedua, status sebagai mahasiswa negeri sehingga tidak perlu ada ujian negara segala. Program ekstension di PTN-PTN itu kemudian diikuti oleh beberapa PTS terkemuka.

Bersamaan dengan maraknya program ekstension itu bermunculan pula sekolah-sekolah bisnis yang memberikan gelar Master of Business Administration (MBA) dan Magister Managemen (MM) yang diselenggarakan oleh suatu lembaga pendidikan tanpa memiliki program S1. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadi komoditifikasi yang sangat terbuka itu, antara lain:
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang meningkat (utamanya kelas menengah di perkotaan)—yang didominasi oleh kerabat pejabat—memerlukan ekspansi baru untuk investasi, baik investasi dalam bidang ekonomi maupun sosial. Investasi ekonomi dilakukan melalui pendirian lembaga pendidikan itu sendiri, sedangkan investasi sosial salah satunya melalui mengkoleksi gelar-gelar akademik, seperti MBA, MM, dan doktor.

Investasi dalam bentuk pendirian institusi pendidikan dilakukan karena golongan menengah ini melihat adanya pangsa pasar yang begitu besar di masa mendatang, terutama berkaitan dengan perkembangan global yang memerlukan kehadiran orang-orang yang memiliki kualitas tinggi. “Sekolah managemen yang pertama kali memberi gelar Master of Business Administration (MBA) dan Magister Managemen (MM) didirikan tahun 1982 dengan dukungan 70 industrialis”, tulis B.`Herry Priyono (2004:171) mengutip laporan Walter William, seorang antropolog yang pada tahun 1987 mengadakan penelitian di Yogyakarta. Tapi tahun 1991 jumlahnya sudah mencapai 20.
Pertumbuhan yang begitu pesat itu menurut pengamatan Ruth McVey, seperti dikutip oleh B. Herry Priyono (ibid) karena ”anak-anak pejabat lebih memilih masuk bisnis, dan tidak lagi masuk birokrasi pemerintahan. Oleh sebab itu kita temukan anak-anak para pejabat memburu MBA ketimbang masuk akademi militer atau pemerintahan”. Tidak seorang pun dari anak-anak Soeharto mengikuti jejak karier militer ayahnya.

Beberapa SMA elit dan mahal juga didirikan pada pertengahan dekade 1990-an, seperti Pelita Harapan, Global, Ciputra, Al-Kausar, Madania, Dwi Warna, Insan Cendekia dan sebagainya. Sekolah dan Universitas Pelita Harapan itu konon dirancang sudah sejak lama, tapi terhambat oleh perizinan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan (1985 – 1993) pada waktu itu tidak memberikan izin. Izin pendirian Sekolah/Universitas Pelita Harapan diperoleh pada saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Wardiman Djojonegoro (1993 – 1998).
Sikap Fuad Hassan yang ketat dalam mengeluarkan izin pendirian sekolah baru yang elit dan mahal itu tidak terlepas pandangannya terhadap pendidikan. Menurut Fuad Hassan (2004:55), pendidikan merupakan ikhtiar pembudayaan demi peradaban manusia. Pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa bagi terjadinya pengalihan pengetahuan dan ketrampilan (transfer of knowledge and skill), tapi juga pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Kiranya dapat kita sepakati, tiap masyarakat sebagai pengemban budaya (culture bearer) berkepentingan untuk memelihara keterjalinan antara berbagai upaya pendidikan dengan usaha pengembangan kebudayaannya. Tiap ikhtiar pendidikan bermakna sebagai proses pembudayaan dan seiring bersama itu berkembanglah sejarah peradaban manusia.

Bagi Fuad Hassan (ibid, hal.65), pendidikan harus merupakan ikhtiar yang jauh melampaui terpenuhinya kebutuhan sesaat-sesaat. Pendidikan harus tetap mengunggulkan derajat dan martabat manusia. Kesadaran ini harus senantiasa disegarkan, mengingat makin meningkatnya dominasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Teknologi yang menurut Jacques Ellul sudah bergerak maju sebagai sebagai autonomous force akhirnya melanda manusia dan kemanusiaan hingga menyerah pada dominasi teknologi. Apa yang disebut teknokrasi menunjukkan betapa technos (peralatan) makin tampil sebagai kratos (kekuatan).

Sementara itu, Menteri Wardiman adalah seorang yang dikenal sangat pragmatis, memandang pendidikan hanya sebagai instrumen dari industri. Ia mengistilahkan pendidikan harus siap pakai. Pengertian siap pakai di sini mengacu pada kepentingan industri. Konsepnya mengenai pendidikan link and macth, mencerminkan pandangannya bahwa pendidikan menjadi subordinat dari sektor industri, karena corak pendidikan tidak ditentukan oleh peradaban yang ingin dibangun, tapi oleh kebutuhan tenaga kerja di sektor industri. Tapi konsep link and match itu gagal dengan sendirinya ketika Indonesia dilanda multi krisis dan banyak industri nasional yang runtuh.

Fuad Hassan tidak hanya selektif terhadap lahirnya sekolah-sekolah elit dan mahal, tapi juga terhadap lahirnya fakultas kedokteran baru di Jawa, karena jumlah fakultas kedokteran di Jawa sudah jenuh. Tapi apa yang ditolak oleh Fuas Hassan itu justru dilakukan oleh Menteri Wardiman. Pada masa Menteri Wardiman, beberapa PTS terkemuka seperti UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), dan UII kemudian membuka fakultas kedokteran baru. Paska reformasi Universitas Jember dan Universitas Purwokerto juga membuka fakultas kedokteran. Fakultas Kedokteran merupakan salah satu fakultas yang selalu diminati oleh masyarakat dan masyarakat berani bayar berapa pun untuk bisa diterima di sana.
Kedua, adanya pandangan baru yang melihat pendidikan sebagai bagian dari investasi masa depan bangsa (human investment). Hanya bangsa yang memiliki pendidikan (tinggi) cukup baik lah yang akan unggul dalam kompetisi global. Pandangan ini kemudian menjadi mainstream para pengambil kebijakan. Sayangnya, pada tingkat implementasi mengalami distorsi karena memaknai pendidikan tinggi yang baik hanya berdasarkan gelar akademik yang dimiliki oleh seseorang. Kebutuhan akan tenaga trampil dan ahli yang cukup tinggi di satu pihak dan masih terbatasnya jumlah orang yang memiliki gelar S1, S2, dan S3 itulah yang kemudian ditangkap oleh kaum bisnis sebagai peluang pasar. Pendidikan oleh kaum entrepreneurs kemudian dijadikan sebagai sektor usaha yang sangat menguntungkan. Mereka mendirikan institusi pendidikan tujuan utamanya bukan untuk menyiapkan manusia yang berkualitas dan sekaligus berbudaya, tapi meneguk keuntungan dari ambisi masyarakat yang ingin memperoleh gelar. Gayung pun bersambut, karena terbukti lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan gelar MBA dan MM laris manis diserbu oleh masyarakat.

Demikian jual beli gelar doctor yang dijual dengan harga Rp. 5 – Rp. 25 juta (tergantung tempat wisudanya, di Indonesia atau luar negeri) juga diminasi oleh masyarakat. Banyak warga masyarakat, termasuk para calo yang dapat meneguk keuntungan dari bisnis gelar tersebut.
Ketiga, maraknya komoditifikasi pendidikan itu adalah secara matematis pangsa pasarnya memang sangat besar dan tidak akan pernah habis. Ketika suatu produk yang ditawarkan mengalami kejenuhan, maka bisa di-create produk baru untuk ditawarkan kepada masyarakat. Sebagai contoh, ketika program MBA sudah mulai jenuh, maka program MM ditawarkan secara gencar. Dan ketika kedua program (MBA dan MM) itu jenuh, maka program doctor (honoris, humoris, dan hororis causa) menjadi produk baru yang diandalkan. Ketika program doctor kaki lima itu juga mengalami kejenuhan, maka kursus Bahasa Asing (Inggris dan Mandarin) mulai memperoleh pangsa pasar baru.
Keempat, pendidikan itu dianggap sebagai obat mujarab dari rasa pusing. Li Yuan (2005: A6) membuat laporan yang cukup menarik mengenai program MBA Eksekutif di Cina dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena yang sama terjadi di Indonesia. Liang Yingqi, seorang pimpinan dari perusahaan pasta gigi Guangxi LMZ hampir frustasi menghadapi produk Proter and Gamble Co. dan Colgate-Palmolive Co. yang dijual dengan harga mulai dari tiga yuan ($36 cents) sejak tahun 2001. Ia pun penasaran ingin mengetahui apa yang telah terjadi dengan bisnisnya, maka ia masuk ke program MBA Eksekutif di Tsinghua University’s School of Economics and Management di Beijing (September 2002). Selama 18 bulan Mr. Liang terbang lebih dari 1.900 km ke Beijing dari Provinsi Guangxi untuk menghadiri kuliah per kelas. Ia kemudian membuat tesis mengenai strategi kompetisi perusahaan pasta gigi di Cina baik dalam pasar domestic maupun internasional. Dan yang penting adalah ia belajar bagaimana cara perusahaan-perusahaan multinasional itu membuat perencanaan strategi pasar dalam jangka panjang dan menguasai pasar tersebut. Ia mengatakan: “We can’t win a competition if we don’t know our competitors”.
Pernyataan Mr. Liang itu mencerminkan bahwa program MBA yang diikutinya itu seakan menjadi titik penentu dirinya untuk mengetahui seluk beluk kompetitornya. Realitas pasar tidak mampu membukakan cakrawalanya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dengan produk pasta gigi dan kompetitornya. John Akula, seorang dosen senior di Massachusetts Institute of Technology’s Sloan School of Bussiness, yang mengajar hukum dagang baik di Tsinghua’s maupun MIT’s excecutive MBA Program memberikan legitimasi pada pernyataan Mr. Liang itu. Kata John Akula: “When you are running a business organization, you actually have very little time to think about the big picture”.

Sedikitnya waktu yang dimiliki oleh para pebisnis untuk berfikir dalam konteks yang lebih besar mengenai usahanya itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh para usahawan bidang pendidikan untuk menjual jasa mereka. John Akula meyakinkan bahwa dengan menghabiskan waktu beberapa hari saja (untuk mengikuti program MBA) anda bisa berfikir yang lebih luas mengenai apa yang akan anda kerjakan. Tidak mengherankan bila kemudian program MBA Eksekutif di Cina itu mampu menarik orang-orang kaya untuk memasukinya. Pada tahun 2002 program MBA Eksekutif di Cina sudah ada di 30 universitas. Tapi karena bayarannya mahal dan yang masuk adalah orang-orang kaya, maka program ini pun mengundang kritik. Media massa menyebutnya sebagai kumpulan orang-orang kaya dan sebagai gejala baru gaya hidup snobbish yang ditandai dengan parkir mobil-mobil mewah pada setiap akhir pekan.

Gejala menjadikan pendidikan sebagai obat mujarab itu juga terjadi di Indonesia. Maraknya program-program MBA dan MM Eksekutif pada awal decade 1990-an tidak terlepas dari keyakinan semacam, terutama di kalangan pebisnis. Banyak eksekutif muda yang kemudian mengambil program MBA dan MM. Mereka setelah memperoleh gelar MBA dan MM posisi dan prestisenya di perusahaan meningkat karena dinilai telah memiliki pengetahuan lebih. Tapi munculnya pengakuan berlebih terhadap keberadaan institusi pendidikan program MBA dan MM itu boleh jadi bukan karena ilmu yang diberkikan memang manjur bak obat mujarab, tapi lebih disebabkan oleh berhentinya proses belajar seseorang selepas dari bangku sekolah. Kebanyakan orang memperlakukan dirinya sebagai robot atau mesin photo copy yang selalu manjalankan kerja-kerja rutinitas dan tidak mengasah otak. Akibatnya, ketika masuk ke suatu lembaga pendidikan, seperti program MBA dan MM seakan-akan mendapatkan pencerahan baru dan yakin akan kehebatan program MBA dan MM itu.

Kelima, makin kompetitifnya tingkat persaingan antar pengelola lembaga pendidikan sehingga tidak mungkin lagi menempuh cara-cara konvensional (dari mulut ke mulut atau melalui brosur saja) untuk memasarkan lembaga mereka. Harus ada cara-cara atraktif untuk menjaring konsumen, termasuk pengenaan biaya yang sangat mahal. Dan celakanya adalah masyarakat pun menjadi sangat tidak rasional, karena semakin tinggi biaya sekolah/kuliahnya dianggap makin bermutu sehingga banyak diserbu. Sebaliknya semakin rendah biaya sekolah/kuliah dianggap tidak bermutu dan tidak diminati. Ceramah Hermawan Kertajaya yang memasang tarif Rp. 3.800.000,- per orang atau Rp. 25 juta untuk paket 10 orang dan hanya selama delapan jam pun selalu diminati oleh peserta. Ini adalah gejala baru yang cukup menarik karena menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas, bukan sebagai hak yang patut dimiliki oleh setiap orang.

Kecenderungan memperoleh ilmu secara instan dan melalui transaksi jual beli secara terbuka itu agak kontras dengan prinsip orang Jawa yang menyatakan Ilmu itu kelakone kanthi laku (pencapaian ilmu melalui suatu proses). Laku (proses) yang ditempuh melalui berbagai tingkatan itu sangat penting dalam mencapai suatu ilmu. Masyarakat Gunungkidul sampai decade 1980-an –ketika proses agamanisasi belum kuat—mempunyai tradisi anak-anak mudanya setelah sunat dan dianggap dewasa mencari guru (meguru) untuk belajar ilmu penghidupan. Proses berguru itu dimulai dari puasa Senen – Kamis selama tujuh minggu, tidak makan garam, tidak makan nasi, tidak berbicara (tapa mbisu), kemudian bersemedi di hutan selama tiga hari tiga malam. Pada hari yang ketiga mereka diuji dengan cara pulang waktu subuh dengan membawa kayu bakar. Mereka akan dinyatakan lulus ketika mereka meletakkan kayu (satu ikat) tidak terdengar dan ketahuan orang lain karena itu berarti ilmu nyirep (membuat orang lain terlena) sudah manjur. Bila ketahuan maka dinyatakan tidak lulus. Setiap orang bisa berguru kepada banyak guru secara bergantian bila dia menginginkannya.

Tradisi berguru itu juga ditemukan dalam lingkungan pesantren. Seorang santri yang ingin mendalami suatu vak tertentu bisa melakukan mobilitas horisontal dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Kepindahan yang berkali-kali itu dilakukan untuk memperoleh jenjang pendidikan yang semakin meninggi, sebagai suatu proses mendapatkan spesialisasi yang ditempuh oleh masing-masing santri. Setelah menempuh pendidikan dasar di pesantren asal, seorang santri dapat memperdalam vak yang dipilihnya di bawah bimbingan seorang kyai yang dianggap ahli dalam vak itu (Abdurrahman Wahid, 1995:49).

Kesamaan kedua tradisi itu adalah menekankan pada segi proses dan asketisme, jauh dari pola instan dan hiruk pikuk. Informasi untuk mendapatkan guru atau kyai yang ingin dituju itu bukan melalui media iklan, melainkan dari mulut ke mulut dan secara turun temurun. Meskipun demikian, murid yang datang dari berbagai penjuru wilayah, karena efektivitas informasi dari mulut ke mulut itu tidak kalah dengan iklan melalui media massa. Hubungan antara murid/santri dengan guru/kyai juga tidak ditentukan oleh besaran uang, melainkan oleh rasa saling percaya. Dalam tradisi meguru di Jawa itu malah tidak bersentuhan dengan material sama sekali, karena selama proses meguru justru murid harus berpuasa. Sedangkan dalam tradisi pesantren, uang, atau yang bisa berwujud bahan makan itu umumnya dibawa sebagai bekal santri yang bersangkutan. Orang tua yang betul-betul miskin malah menyerahkan hidup dan pendidikan anaknya itu kepada kyai/nyai. Tapi karena tidak ada transaksi rupiah itu justru ikatan antara murid/santri dengan guru/kyai/nyai terbangun langgeng. Keuntungan material bagi guru/kyai/nyai akan diperoleh justru setelah murid/santri itu tamat belajar dan mereka telah bekerja. Dalam kunjungan silahturahmi itulah biasanya mantan murid/santri memberikan salam tempel atau bawa oleh-oleh sekedarnya. Ikatan kekeluargaan atau relasi antar personal yang kuat itu tidak pernah terjadi pada hubungan antara alumni dengan guru/dosen pada institusi pendidikan formal.

Berawal dari Istilah

Menarik untuk disimak adalah pernyataan Prof. Dr. Arif Karseno (Dosen FE UGM) dalam diskusi terbatas di UNJ (Universitas Negeri Jakarta) tanggal 15 Juli 2004. Ia menyatakan bahwa perkembangan pendidikan tidak terlepas dari perkembangan sekolah manegemen di Amerika Serikat, yang kemudian juga dikembangkan di Indonesia. Istilah-istilah yang muncul dalam sekolah managemen itu kemudian diadopsi dalam pendidikan umum. Ketika sekolah managemen menekankan pentingnya efisiensi dalam suatu proses produksi, maka secara spontan istilah itu masuk ke dalam managemen sekolahan. Ketika sekolah managemen memberikan perhatian pada pentingnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebagai keunggulan daya saing, untuk menjawab keterbatasan sumber daya alam, maka istilah SDM pun menjadi populer dalam wacana pendidikan. Demikian pula ketika ilmu managemen memperkenalkan standarisasi suatu produk, istilah itu serta merta diadopsi dalam praktek pendidikan pada umumnya. Bahkan apa yang dikembangkan dalam sekolah managemen itu sendiri kemudian menentukan arah pendidikan pada umumnya.
Secara konsepsional, ilmu managemen itu dirancang untuk pengembangan usaha dengan tekanan pada pencapaian keuntungan yang setinggi-tingginya. Ia merupakan ilmu rekayasa perusahaan agar berjalan secara efisien dengan mengoptimalkan segala sumber daya yang ada. Prinsip kerja yang efisien dan efektif menjadi roh dari ilmu managemen. Artinya, managemen suatu perusahaan dikatakan gagal bila tidak mampu menciptakan mekanisme kerja yang efektif dan efisien ini, sehingga terjadi pemborosan yang kemudian berdampak pada menurunnya jumlah keuntungan perusahaan.

Meskipun secara konsepsional ilmu managemen itu bagus, tapi tidak cocok 100% ketika diterapkan dalam menagemen persekolah pada umumnya. Sebab semangat persekolah bisa bertentangan dengan prinsip managemen perusahaan. Dalam konteks pendidikan, efisiensi dan efektivitas sering kali terabaikan untuk mendapatkan hasil yang optimal, sehingga prinsip trial and error itu lebih dominan. Padahal, prinsip itu belum tentu efektif dan efisien.
Meskipun nafas managemen persekolahan dengan perusahaan itu berbeda, tapi yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah kuatnya pengaruh managemen perusahaan di dalam pengelolaan pendidikan nasional. Hal itu terlihat jelas dari istilah-istilah yang muncul dalam khasanah pendidikan nasional yang sangat kapitalistik dan mereduksi makna pendidikan itu sendiri; seperti misalnya istilah SDM untuk mengganti manusia, bibit unggul, sekolah unggulan, standarisasi, standar nasional, standar internasional, uji kompetensi, standar kompetensi, kemandirian, jaminan mutu, akselerasi, badan hukum milik negara, akuntabel, transparan, efisiensi, efektivitas, dsb.. Celakanya, semua istilah itu telah masuk ke dalam dokumen-dokumen resmi, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Guru, beberapa RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang pendidikan, serta RUU Badan Hukum Pendidikan. Sebagai istilah resmi, istilah-istirah tersebut akan terus direproduksi oleh birokrasi pendidikan untuk dipraktekkan dalam managemen persekolahan, sehingga tanpa disadari, nafas managemen perusahaan itu sepenuhnya diterapkan dalam managemen persekolahan. Barangkali inilah yang disebut sebagai pengaruh dari dominasi multi national corporation (MNC) dalam praksis pendidikan nasional.

Anita Lie (2004:227) mencatat: “Seperti halnya perusahaan, banyak lembaga pendidikan mempunyai tim pemasaran (marketing) khusus meski mereka masih sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya tim marketing bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi atau biro informasi. Di beberapa sekolah swasta, tim pemasaran ini bekerja penuh waktu secara professional dengan armada lengkap mulai dari staf relasi media, presenter, desainer brosur, sampau dengan petugas jaga pameran. Peridode sibuk bagi tim ini biasanya antara Oktober sampai dengan Mei, tetapi mereka bekerja sepanjang tahun. Di Luar periode sibuk, tim marketing melakukan pembenahan internal di sekolah. Mereka merancang prospectus, brosur, dan catalog dengan cetakan dan desain yang tidak kalah mewah dengan prospectus perusahaan multi nasional”.
Pada tingkat pendidikan tinggi, semangat managemen perusahaan itu sudah diterapkan pada beberapa PTN dengan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara), seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan mulai tahun 2005 ini tambah dua PTN, yaitu USU (Universitas Sumatra Utara) dan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung.

Beberapa pasal dalam PP No. 152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN); dengan nomor PP yang berbeda juga berlaku untuk lima PTN lain berstatus BHMN; memperlihatkan kuatnya pengaruh managemen perusahaan ke dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Pasal 25 mengenai persyaratan untuk menjadi calon rector salah satunya adalah memiliki jiwa kewirausahaan (butir e). Hal yang sama terlihat pada Pasal 31 – 33 yang mengatur mengenai Unit Usaha serta Pasal 35 – 40 tentang Perencanaan, Pengelolaan, dan Akuntabilitas.

Pasal-pasal tersebut di atas memperlihatkan kekaburan antara fungsi PTN sebagai institusi pendidikan dengan sebagai institusi usaha bisnis. Kekaburan itu tampak jelas pada Pasal 31 yang menyatakan: 1). Unit Usaha terdiri dari tiga bentuk, yaitu unit usaha akademik, unit usaha penunjang, dan unit usaha komersial; 2) Unit Usaha Akademik adalah unit usaha yang terkait dengan kegiatan akademik; 3). Unit Usaha Penunjang adalah unit usaha yang menunjang kegiatan universitas; 4) Unit Usaha Komersial adalah badan usaha yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh universitas dalam rangka menunjang pendanaan penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Istilah “usaha” sebetulnya dimaksudkan sebagai pengganti kata pelayanan yang menjadi core kegiatan PTN, tapi tidak sepenuhnya tepat. Sebaliknya pengenalan istilah “usaha” itu tanpa disadari justru mendistorsi fungsi PTN menjadi suatu institusi yang magol (manjal), usaha bisnis berkedok social. Distorsi itu yang kemudian ditengarai sebagai pengaruh dari multi national corporation (MNC), karena kekuatan modal lah yang kemudian paling menentukan apakah seseorang bisa diterima di PTN ber-BMHN atau tidak. Kaum miskin, meskipun memiliki kemampuan kognitif yang cukup tinggi, tapi karena tidak memiliki kemampuan untuk membayar, mereka tersisih dari bangsa PTN.

Ironisnya, kebijakan BHMN yang terbukti menghilangkan fungsi social PTN itu justru dikembangkan sampai pada tingkat pendidikan dasar, melalui pembuatan RUU BHP (Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan). Nafas BHP itu tidak jauh dari nafas BHMN. Bedanya, bila BHMN terbatas pada PTN saja, tapi RUU BHP mencakup semua jenjang pendidikan dari TK – PT, baik negeri maupun swasta. Keduanya menghilangkan fungsi social institusi pendidikan, karena pengelolaan pendidikan harus berada di bawah suatu badan hukum yang sama –antara negeri dengan swasta—sehingga warga tidak bisa lagi membedakan mana sekolah/universitas public dengan sekolah/universitas swasta. Konsekuensi lebih jauhnya adalah menyulitkan warga miskin untuk menuntut hak-haknya dalam bidang pendidikan, karena baik institusi pendidikan negeri maupun swasta semua berbadan hukum. Semuanya itu terjadi bermula dari istilah sederhana yang tidak pernah kita pikirkan implikasi politisnya. Kita terbiasa mengadopsi setiap istilah tanpa bersikap kritis dan tidak mempertimbangkan implikasi politisnya.

Pembentukan BHMN dan BHP ini ditengarai sebagai upaya untuk melapangkan jalan bagi proses liberalisasi pendidikan. Seperti kita ketahui, pendidikan merupakan salah satu sektor yang dicakup dalam GATS (IGJ, 2004). Pendidikan dalam GATS terdiri atas Primary Education Services (CPC 921); Secondary Education Service (CPC 922); Higher Education Services (CPC 923); Adult Education (CPC 924), Other Education Services (CPC 929). Pada medio Mei 2005 ini Pemerintah Indonesia melalui Menteri Perdagangan harus memberikan pernyataan kepada WTO apakah pendidikan di Indonesia siap untuk diliberalisasi atau tidak. Tarikan antara yang pro dan kontra cukup kuat. Yang pro umumnya memberikan catatan bahwa asal yang diliberalisasi itu adalah pendidikan tinggi, bukan dasar dan menengah. Sedangkan yang kontra memberikan argument atas dasar hak (right base analysis), bahwa pendidikan, termasuk pendidikan tinggi adalah hak bagi setiap warga. Sebagai hak yang melekat kepada semua warga, maka negara wajib memenuhinya. Meliberalisasi pendidikan ke dalam pasar bebas, sama halnya menjadikan pendidikan sebagai komoditas pasar, sehingga hanya orang yang memiliki uang yang bisa membeli barang tersebut. Tindakan negara yang membiarkan praktek semacam itu dapat dipersalahkan karena tidak memperhatikan hak-hak warganya.

Pemiskinan Budaya

Dominasi pasar dalam sistem pendidikan nasional dan juga dalam komoditifikasi ilmu pengetahuan itu mempunyai implikasi besar terhadap proses pemiskinan budaya, terutama terkait dengan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya lokal. Bahasa daerah sebagai salah satu piranti ekspresi budaya lokal misalnya terancam punah. Seorang bule aktivis lingkungan hidup, Sharge (2001) menyatakan keheranannya: “Mengapa orang Indonesia tidak pernah bersedih ketika 6.000 dialeg dari sekitar 12.000 dialeg yang dimiliki bangsa Indonesia hampir punah. Sebaliknya mereka mengeluh bila anaknya tidak bisa berbahasa Inggris”.

Komentar yang sinikal itu disampaikan untuk mengkritik kebijakan pendidikan nasional yang mengajarkan berbahasa Inggris sejak usia SD, bahkan TK. Menurut dia, kalau orang bisa berbahasa Inggris itu memang bagus, tapi upaya untuk mempertahankan bahasa lokal yang dimilikinya, tidak kalah bagusnya. Membiarkan anak-anak sejak kecil belajar bahasa Inggris dan melupakan bahasa lokalnya, identik dengan membiarkan dirinya dijajah oleh bangsa yang berbudaya Inggris.

Pada waktu yang berbeda, Anita Lie (ibid; 219) melihat persoalan kegandrungan orang belajar bahasa Inggris itu sebagai bentuk kolonialisasi baru. Di Indonesia, pelajaran bahasa Inggris itu secara resmi semula mulai dari Kelas I SMP, tapi sekarang sejak Kelas I SD. Di daerah perkotaan, TK dan kelompok bermain tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa sekolah unggulan mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar. Untuk memenuhi klaim itu sekolah-sekolah tersebut sampai harus merekrut guru-guru asing bukan hanya untuk mengajar bahasa Inggris, tapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain. Guru-guru asing ini biasanya didatangkan dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, Filipina, India, dan Negara-negara Eropa Barat.
Dalam tulisannya di Kompas (……) Anita Lie melihat adanya persoalan capital dalam usaha mempelajari bahasa Inggris itu. Begitu besarnya jumlah uang yang berputar dalam penyelenggaraan kursus-kursus bahasa Inggris, baik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kursus professional, les privat, maupun melalui sekolah. Tinggal menghitung saja berapa juta anak setiap tahun belajar bahasa Inggris dan harus bayar, minimal rata-rata Rp. 25.000,- per bulan. Penyelenggara kursus yang baik selalu identik dengan lembaga-lembaga internasional, dan guru bahasa yang baik adalah mereka yang sehari-harinya berbahasa Inggris. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu membuka tempat kursus di Indonesia, dengan membawa guru dari negara asal, tapi uang yang dibayarkan oleh para peserta kursus itu lari ke negara-negara penyelenggara dan itu adalah negara-negara maju. Dengan kata lain, kita terkena tipu dua kali. Pertama, kita sudah miskin tetapi harus membayar kepada orang kaya (bangsa yang berbudaya Inggris) hanya untuk mempelajari bahasa Inggris. Kedua, untuk bisa belajar bahasa Inggris kita harus membunuh bahasa lokal kita, tapi setelah bisa berbahasa Inggris pun kita tidak memperoleh keuntungan yang signifikan dengan pengorbanan yang kita keluarkan karena bangsa yang berbudaya Inggris tetap lebih jaya.

Kita semua sepaham bahwa bahasa Inggris penting sebagai bahasa internasional. Kesimpulan ini tidak perlu diperdebatkan lagi karena sudah terbukti dengan sendirinya. Tapi membiarkan bahasa Inggris tumbuh subur sendirian di mana-mana, dan di lain pihak kita membiarkan matinya beberapa bahasa lokal hanya karena dipandang tidak prestius atau bahkan tidak menghasilkan rupiah, sungguh merupakan tindakan yang menyesatkan. Tindakan ini sama dengan membiarkan adanya kolonialisasi gaya baru melalui penyeragaman bahasa. Awalnya, penyeragaman hanya terbatas pada kata, tapi kemudian berkembang sampai pada gaya hidup, sehingga kemudian perilaku kita tampak norak karena anak pemakan singkong tapi berlagak sebagai anak pemakan keju. Kecuali itu, menempatkan bahasa Inggris sebagai hal yang superior dan bahasa lokal sebagai inferior, sama halnya dengan melakukan penindasan terhadap budaya lokal.

Argumen mengenai keharusan belajar bahasa Inggris sejak dini itu sebetulnya juga kurang begitu kuat. Sebab kalau dasarnya adalah ketertinggalan dalam bidang teknologi dan ekonomi, maka argumen itu sudah terbantahkan dengan sendirinya oleh negara-negara seperti Jepang, Korea, Cina, dan Perancis yang warganya sebagian besar tidak bisa berbicara bahasa Inggris, tapi teknologi dan ekonominya sangat maju. Orang Perancis misalnya, justru dikenal sebagai bangsa yang fanatik dengan bahasa Perancis-nya, mereka tidak mau menggunakan bahasa Inggris di negerinya sendiri. Memang orang Jepang, Korea, dan Cina yang bisa berbahasa Inggris sekarang meningkat, tapi ketika mereka mencapai tahap kemajuan dalam bidang teknologi dan ekonomi sampai dekade 1980-an itu masih sedikit yang bisa berbahasa Inggris. Tapi mengapa negara-negara tersebut maju? Karena mereka memberikan landasan berfikir yang kuat. Anak-anak sejak dini diajarkan bernalar secara baik. Sedangkan pendidikan di Indonesia, sejak reformasi mengajarkan bahasa Inggris mulai dari SD, tapi sama sekali tidak memberikan landasan pemikiran yang kuat. Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional juga tidak mengamanatkan pentingnya landasan berfikir yang kuat, tapi menekankan tentang pentingnya pendidikan agama, dari SD sampai dengan PT.

Praksis pendidikan yang terlalu silau dengan globalisasi itu dikhawatirkan justru akan membawa bangsa ini ke arah kehancuran yang lebih parah lagi. Karena pada suatu ketika nanti, generasi yang dilahirkannya di satu pihak sudah tidak memiliki basis budaya lokal lagi, tapi di pihak lain mereka tetap tidak mampu bersaing dengan mereka yang sejak kecil berbudaya Inggris dan dibekali dengan landasan berfikir yang kuat. Akhirnya, meskipun kemampuan berbahasa Inggrisnya bisa cas cis cus, tapi karena dalam tataran konseptual sangat miskin, maka kemampuan berbahasa Inggrisnya itu tidak memberikan nilai lebih dalam kompetisi. Berbeda misalnya, bila basis budaya lokal itu masih melekat pada dirinya, maka bisa memaksa mereka yang berbudaya Inggris untuk mempelajari budayanya. Pada masyarakat justru masih memiliki posisi tawar yang cukup tinggi. Lagi pula, bahasa lokal itu sendiri mestinya merupakan salah satu kekayaan yang bisa memaksa kepada orang lain untuk datang mempelajarinya. Tapi kalau bahasa lokal itu sudah dimatikan, apa yang bisa kita tawarkan kepada orang lain agar datang kepada kita? Bahasa Inggris memang penting sebagai bahasa internasional, tapi urgensitasnya hanya dirasakan oleh sekitar 10 - 20% warga yang memang karena mobilitasnya cukup tinggi memerlukan kecakapan bahasa Inggris untuk membangun relasi sosialnya.***

Referensi:
1. Anita Lie, 2005, “Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi” dalam Pendidikan Manusia Indonesia, Penerbit Kompas dan Yayasan Toyota dan Astra, Jakarta
2. B. Herry Priyono, 2005, “Tata Bahasa Uang dalam” Pendidikan Manusia Indonesia, Penerbit Kompas dan Yayasan Toyota dan Astra, Jakarta
3. Fuad Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan” dalam Pendidikan Manusia Indonesia, Penerbit Kompas dan Yayasan Toyota dan Astra, Jakarta
4. Wahid, Abdurrahman, 1995, Pesantren sebagai Subkultur” dalam Pesantren dan Pembaharuan, editor M.Dawam Rahardjo, LP3ES, Jakarta
5. Li Yuan, 2005, “China’s MBA Programs Attract the Elite” dalam The Asian Wall Street Journal, MARCH 4 – 6.
6. Wahono, Franciscus, 2001, Kapitalisme Pendidikan, Insist Press, Yogyakarta

9 Responses to “KAPITALISASI PENDIDIKAN: BERMULA DARI ISTILAH”

Anonymous said...

berantas preman-preman pendidikan. selama pendidikan masih dikomersilkan, kualitasnya hanya akan seperti para koruptor..! salam tuk cak heri dkk

Anonymous said...

berita buruknya, pemerintah sedang merencanakan UU BHP. gimana nich, pendidikan semakin mahal aza...

Anonymous said...

Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!

Anonymous said...

Free pills mestinon Now zebeta ED zyloprim No prescription cialis professional World shippind minomycin ED zyvox

apri said...

nice posting ..
thanks

Anonymous said...

The same heyday, a construction gathering turned up to start erection a forebears on the inadequate in lot.

The 262506 522955 [url=http://masuher.blogdetik.com/2012/11/29/russia-has-withdrawn-from-the-market-sets-for-doomsday/]4sx9p5fb[/url] 777328 398654 youngster people's 5-year-old daughter really took an engage in all the

animation extant on next door and dog-tired much of each ancient observing the workers.

Anonymous said...

Joined interval, a construction group turned up to start edifice a text on the empty lot.

The [url=http://kamachu.000space.com/ndf.html]228564[/url] [url=http://mios.my-board.org/sdi.html]459796[/url] [url=http://poa7.000space.com/usd.html]504729[/url] [url=http://kamachu.000space.com/nmd.html]205715[/url] [url=http://limaimenapolnostu.edublogs.org/2012/11/28/shy-japanese-come-to-the-interview-wearing-masks/]1ns7p5gi[/url] progeny a bodily's nearest's 5-year-old daughter undeniable took an attracted at indicator in all the

push moneyed on next door and drained much of each time observing the workers.

Anonymous said...

Видео ютуб улётное http://youtu.be/knL93B57iiI
Прикольное видео секс http://youtu.be/X2sdWXysJIc
[youtube]knL93B57iiI[/youtube]
[youtube]X2sdWXysJIc[/youtube]
video youtube http://www.youtube.com/user/aeytovaresch/
Вот ещё прикольное Видео
http://www.youtube.com/watch?v=Tu5KJ67jKc0

video Видео начало видео