Workshop DRR


Selama 3 hari mengikuti Workshop ada perubahan yang mendasar di tingkat warga di dua desa dampingan Sempu dan Sepawon dalam merefleksikan kebencanaan. Fenomena bencana tidak lagi menjadi sederhana dan berdiri sendiri (terpisah) dari kegiatan kemasyarkatan yang lain.
Hanya pada sikap kebijakan pemerintah yang berusaha mengurangi kerentanan masyarakat( fenomena kemiskinan) malah menjadi program karikatif dan tidak berkaitan satu sama lain dengan harapan masyarakat.
Ada keterkejutan baru di masyarakat bahwa DRR bukanlah kegiatan yang ceremonial, sewarna dan sampingan. DRR yang diajarkan dalam workshop pada dasarnya membicarakan warga sendiri, lingkungan, kehidupan mereka, kerentanan , kebutuhan, sampai solusi dalam gerakan strategis yang mereka harapkan selama ini. Ini terlihat dari ungkapan peserta. “Oh, ternyata begini to DRR itu,” ungkap mereka secara serentak.
Satu hal lagi yang dapat ditangkap oleh peserta workshop adalah bahwa strategi yang harus dikembangkan oleh warga haruslah nyata. Bahkan, pendapat dari peserta workshop selama ini kalau ada program mereka tinggal melaksanakan tidak berpikir macam-macam lagi.
Hal yang menggembirakan juga adalah adanya tekad dari peserta untuk menggagas masukan selama workshop menjadi inspirasi untuk menakar keseriusan. “Langkah selanjutnya akan kami kerjakan dengan teman-teman di posko,” begitu tekat para peserta Workshop.
Beda. Begitu komentar peserta workhop. Workhop yang dipandu Rahadi dari Insist ini direspon begitu serius dan sungguh-sungguh. Cara membawa materi dan masuk ke dalam kondisi local masyarakat terasa santai dan tidak terasa. “Tahu-tahu sudah masuk ke dalam permasalahan yang kami hadapi sehari-hari,” jelas salah satu peserta. Meski tidak secara total bisa memotret persoalan sampai tingkat gagasan nyata, namun para peserta secara substansi sudah memahami terhadap kerangka kerja DRR di wilayah Desa Sempu dan Sepawon
Dalam Workshop hari Pertama Jumat , 28 November 2008 dimulai pukul 15.00 dengan acara pembukaan dan diteruskan dengan perkenalan peserta dari masing=masing desa. Setelah itu masuk materi kontrak belajar dengan usulan dari masing-masing peserta sebagai berikut :
Mulai dengan pertanyaan diskusi adalah sebagai berikut:
1. Apa tujuan kita datang dalam petemuan ini?
2. Apa yang kita hasilkan dari pertemuan ini?
3. Bagaimana agar pertemuan ini menjadi efektif?

Peserta dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok masing-masing kelompok mendiskusikan jawaban dari 3 (tiga) pertanyaan di atas.
Hasil presentasi yang di lakukan oleh masing-masing kelompok dapat dipotret sebagai berikut

Yoyok Guritno (kelompok I)
Jawaban terhadap pertanyaan diskusi:
1. Apa tujuan kita datang dalam petemuan ini?
2. Apa yang kita hasilkan dari pertemuan ini?
3. Bagaimana agar pertemuan ini menjadi efektif?
Adalah sebagai berikut :
Tujuan datang ke workshop adalah untuk
1. Mencari pengalaman untuk pengurangan resiko bencana alam
2. Mencari Solusi pada saat bencana
3. Menumbuhkan peran aktif masyarakat di daerah rawan bencana
Hasil yang kita harapkan adalah :
1. Mengurangi Resiko bencana
2. Cara terbaik untuk mengurangi resiko bencana
Agar efektif :
1. Menggali informasi tentang kondisi rawan bencana
2. Memberi pendidikan dan pengertian masyarakat
3. Masyarakat menjadi Sobyek

Dari Kelompok II
Heri Setiawan
Tujuan datang ke workshop adalah untuk:
1. Memenuhi undangan Workshop
2. Menindaklanjuti kelembagaan sosial
3. Untuk bisa mengerti langkah-langkah strategis penanganan bencana
4. Belajar memahami pasca bencana
5. Untuk Mengerti

Hasil yang kita harapkan adalah :
1. Mendapatkan ilmu
2. Mengaplikasikan Potensi SDA
3. Ada perubahan dlm mengantisipasi bencana

Agar Efektif :
1. Kegiatan dikemas secara santai dan konsentrasi
2. Sesi Tanya jawab
3. Ada intermeso
4. Tepat waktu
5. Agar selalu Vit ada logistic
6. Sesekali bisa diadakan di luar ruangan

Untuk Kelompok III yang diwakili oleh Parji dari Desa Sempu jawabannya adalah sebagai berikut :
Tujuan datang ke workshop adalah untuk:
1. Silahturahmi
2. Mencari Ilmu
3. Musyawarah

Hasil yang kita harapkan adalah :
1. Persamaan persepsi
2. Memutuskan skala prioritas dari permasalahan bencana
3. Mencari solusi
4. Menemukan langkah (program)

Agar Efektif :
1. Tepat waktu
2. Fokus
3. Metode Tanya jawab
4. Familiar bahasa yg digunakan bahasa local
5. Tidak ada jarak antara fasilitator dan Peserta
Dari hasil diskusi ini mulai muncul harapan dari peserta. Namun, sebagaian peserta masih menunggu materia apa yang akan diberikan dalam workshop. Apakah acara ini sama dengan acara lain-lain yang sekadar pertemuan lalu kemudian hasilnya begitu-begitu saja.
Untuk mengawal agar jalannya kegiatan dapat berjalan dengan baik maka ada pembagian petugas yang bertanngungjawab terhadap pelaksanaan seperti menjaga waktu mulai, waktu istirahat dan waktu acara berakhir. Tugas untuk menjaga waktu kemudian dipegang oleh Yoyok Guritno dari Desa Sepawon .
Untuk peserta yang bertugas melakukan review harian selama 2 hari adalah Heri Setiawan (Sempu), Legimin (Sepawon) dan Jumali (Sempu).
Pada awal kontrak belajar ini juga disepakati beberapa hal yaitu tentang penggunaan istilah-istilah asing supaya dilokalkan seperti istilah workshop bagaiaman kalau diganti pertemuan. Fasilitator (Rahadi) setuju terhadap ususlan peserta tersebut. Rahadi menerangkan bahwa istilah workshop memang istilah asing yang maknanya identik dengan bengkel kerja atau bengkel alat.
Dalam kontrak belajar peserta juga menyepakati tentang jadwal waktu workshop selama 3 (tiga) haridimulai sore hari dan berakhir pada malam hari dengan jadwal sebagai berikut :
1. 14.00-17.30 (sessi sore)
2. 17.30-19.00 (Istirahat)
3. 19.00-21.00 (sessi malam)
Hal ini sebagai bentuk kompromi, karena warga Desa Sempu dan Sepawon kalau pagi dan siang harinya kerja bekerja di perkebunan dan mengurusi ternaknya. Sore dan malamnya dapat digunakan untuk workshop. .
Akhirnya jadwal acara dan kesepakatan-kesepakatan yang lain seperti tugas review peserta dapat disepakai.

Dalam materi I fasilitator (Rahadi Insist) menjelaskan tentang alasan DRR ini sengaja menjadikan desa sebagai basis program/pelaksanaan program. Atau mengapa kita masuk di desa sebagai basis gerakan?
Alasannya karena sudah sejak lahir desa itu otonom. Desa berhak mengatur dirinya sendiri. Sejak awal desa sudah memiliki aset-aset. Aset itu adalah :
1. Aset social
2. Aset Ekonomi
3. Aset SDM
4. Aset SDA
5. Aset Sarana dan Prasarana
Namun, yang terjadi sekarang ini sudah ironis. Sistem sosial desa sudah terlemahkan. Sebabnya, tata kelola, tata kuasa, tata guna masyarakat (community) rusak atas otonominya.
Contoh kasus lahirnya UU Sumber Daya Air yang memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan besar swasta untuk menguasai sumber air.Nafas UU Sumber Daya Air ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi, mengapa sampai lahir UU tersebut. Jelas sebuah fenomena besar yang patut di cari alasannya.
Hal lain karena (masih) adanya sistem yang sentralistik. Dimana pengambilan tata kuasa, tata kelola dan tata guna masyarakat desa tidak memperhatikan otonomi desa. Tidak memperhatikan kehidupan dan penghidupan masyarakat desa..
Apalagi gerakan otonomi desa menghadapi jalan buntu. Segala daya upaya hilang. Masyaralkat desa masuk dalam arus besar kebijakan yang sentralistik. Kemudian pertanyaan dari fasilitator semakin memperjelasa hilangnya otonomi desa. Apa saja Perdes(Peraturan Desa) yang dibuat di Desa Sempu dan Sepawon?.
Peserta dari Desa Sepawaon menceritakan bahwa Pemerintah Desa Sepawon telah membuat 3 Perdes yaitu Perdes Galian C, Perdes Pengangkatan Perangkat Desa dan Perdes tentang Anggran Pendapatan Belanja Desa Desa(APBDes).
Sedangkan Pemerintah Desa Sempu telah membuat 2 Perdes yaitu Perdes Pengangkatan perangkat desa dan Perdes tentang APBDes.
Menurut fasilitatore hal itu menunjukkan masyarakat desa sudah tergantung (menggantungkan diri) dengan instruksi dari atas (sistem desa sudah terlemahkan). Perdes di masing-masing desa cenderung seragam.
Bagaimana sebenarnya proses tergerusnya system otonomi desa. Fasilitator menjelaskan bahwa hal ini seperti cerita sekolah gajah. Beberapa gambaran besar terjadinya cerita gajah adalah sebagai berikut :
1. Gajah frustasi karena lingkungannya dirusak oleh manusia
2. Gajah mengamuk merusak ladang dan menyerang manusia
3. Ada sayembara untuk mengatasi agar gajah tidak ngamuk
4. Solusi dari akademisi gajah disekolahkan(sekolah gajah)
5. Akhirnya, gajah bisa disuruh untuk membantu pekerjaan manusia termasuk merusak habitatnya sendiri.
Hikmah dari pelajaran ini adalah kondisi Negara Indonesia yang saat ini telah dibodohi oleh kekuatan asing dan pembodohan ini menurun sampai tingkat desa. Saat ini tatanan social masyarakat telah hancur, Menjadi tanggungjawab kita bersama untuk memulihkan potensi desa dari kehancuran ini.
Moh. Hatta pernah berkomentar dalam sebuah bukunya bahwa Jika Negara ini menyerahkan urusan perut dan energinya kepada bangsa asing atau orang luar, suatu saat bangsa ini akan kehilangan martabatnya.
Tampkanya ramalan Hatta ini menjadi kenyataan di mana masyarakat saat ini kehilangan martabatnya. Tidak bisa mengatur desanya sendiri. Sebagai contoh soal Perdes tidak mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa, lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan luar yang tentunya membawa kepentingan di desa tersebut.
Menarik sebenarnya adalah proses otonomisasi yang terjadi di Desa Debut Maluku Tenggara. Pada awalnya, jelas fasilitator, Desa Debut pada awal tahun 1999 PADesnya hanya Rp 5.000.000,-. Setelah diskusi dengan masyarakat akhirnya ada gagasan agar pemerintah desa membuat Perdes yang sesuai dengan kebutuhan warga tersebut. Akhirnya dibuatlah Perdes yang dapat melindungi dan mengatur tata kelola, tata guna, kekayaan local. Sampai tahun 2004 telah lahir 25 Perdes. Pada tahun 2004 PAD desa tersebut meningkat sampai mencapai Rp 120.000.000,-.
Selanjutnya adalah sessi diskusi kelompok dengan materi diskusi adalah:
1. Coba ingat kembali bencana yang terjadi 5 tahun ke belakang
2. Bagaiman bencana tersebut mempengaruhi usaha-usaha dari masyarakat dan pembangunan oleh Pemerintah desa.
3. Apa respon langsung yang diberikan kepada masyarakat oleh masyarakat itu sendiri, organisasi eksternal, LSM dan pemerintah? Apakah respon ini diaggap mencukupi atau tidak.
4. Pelajaran (hikmah) apa yang bisa diambil dari jawaban diatas.

Kemudian diskusi dibagi menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok akan mempresentasikan hasil diskusinya secara pleno.
Untuk presentasi pertama dari kelompok 5 yang diwakili oleh Jumali dari Desa Sempu. Jumali menjelaskan bahwa bencana yang terjadi dalam 5 tahun ke belakang adalah :
1 a. Banjir Bandang di Dusun Ngrangkah Desa Sepawon
b. Aliran lahar dingin di Desa Sempu

Dampaknya :
1. Merusak jalan transportasi, jalur desa
2. Merusak lahan pertanian dan lokasi peternakan warga.
Tanggapan masyarakat adalah dengan melaksanakan kerja bakti, memperbaiki jalan desa, saluran air dan membuat tanggul darurat. Dan tanggapan Pemerintah desa meninjau lokasi dan menggerakkan masyarakat untuk kerja bakti.
Respon ini dianggap kuarang mencukupi karena upaya yang dilakukan masih karitatif saja(formalitas) belum menyentuh kepada aspek penyadaran dan belum menyentuh kepada upaya untuk menuntaskan bencana.
Pelajaran atau hikkah yg dapat diambil dari pelajaran ini adalah kita harus melesatrikan lingkungan. Dan mengadakan reboisasi atas hutan gundul mengelola alam, sebaik mungkin agar tidak menciptakan bencana baru yang lain.

Tanggapan berikutnya dari Kelompok IV yang disampaikan ooleh Yoyo Guritno(Desa Sepawon).
Bencana yang selama ini dibagi menjadi 2 .
1. Bencana besar : Letusan gunun kelud, angina putting beliung, gempa bumi .
2. Bencana kecil : banjir lahar dingin, tanah longsor.
Pengaruh bencana terhadap pembangunan atau aktifitas masyarakat :
1. Menghambat ransportasi
2. Kerusakan tempat tinggal atau rumah
3. Banyaknya wabah penyakit
4. Kematian ternak
5. Rusaknya lahan pertanian
6. Perekonomian masyarakat lemah/hancur

Respon yang diberikan :
1. dari masyarakat : memperbaiki fasilitas transportasi dan mengadakan gotong royong/kerja bakti
2. Dari LSM relative tidak ada
3. Dari Pemerintah : perbaikan jalan/jembatan, bantuan pengadaan rumah sederhana, pukesmas keliling/pengobatan gratis
Respon yang diberikan oleh pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini disebabkan kurangnya pemerataan bantuan.

Kemudian presentasinya dilanjutkan oleh Kelompok III diwakili oleh Soeparji (dari Desa Sempu) bahwa:
1. Aktivitas Gunung Kelud yang meningkat pada tahun 2007 mencapai suhu 108 Celsius hingga memunculkan anak gunung kelud
2. Semua aktifitas masyarakat banyak yang terhenti, karena dipaksa mengungsi oleh petugas.
3. Masyarakat yang diungsikan dibantu pengobatan gratis, diberi mi instant dan air mineral
4. Tanggapan relative, sebagian masyarakat merasa resah karena kondisi yang tidak menentu, dan kuatir dengan keamanan ternak dan harta benda mereka.
5. Dampaknya timbul gesekan antara masyarakat yang mengungsi dan yang tidak mau mengungsi.
6. Bagi masyarakat yang mengungsi pengeluaran justru meningkat, karena kebutuhan ditempat pengungsian tinggi, sementara mereka tidak bekerja dan bantuan yang diberikan sangat minim.

Berikutnya presentasi dari kelompok II Eko Suroso (dari Desa Sempu)
1. Bencana terjadi letusan gunung kelud tahun 1990
2. Pengaruh terhadap usaha masyarakat : merusak lahan pertanian, rusaknya fasilitas umum (sekolah, rumah, tempat ibadah), menghambat jalanya perekonomian masyarakat.
3. Respon yang diberikan : bantuan kesehatan (dari PMI), bantuan makanan instant, pembangunan kembali fasilitas umum yang rusak setelah bencana
4. Hikmah yang bisa di ambil :
- Kesadaran bergotong royong tumbuh kembali
- Tanah menjadi subur akibat material yang dikeluarkan oleh gunung kelud
- Masyarakat mampu memanfaatkan pasir yang ada menjadi sumber penghasilan baru (membuat batako dll)

Berikutnya pemaparan dari kelompok I Suliasih (dari Desa Sempu)
1. Terjadinya peningkatan aktifitas gunung kelud akhir tahun 2007 yang membuat heboh sampai melahirkan anak gunung baru/material lava
2. Dampak :
- Aktifitas/kegiatan masyarakat hampir 80% lumpuh, terutama sector pertanian karena ada anjuran evakuasi paksa dari pemerintah terutama ring 1 dari gunung kelud.
- Penundaan jadwal pilkades sampai dinyatakan keadaan dinyatakan normal kembali.
3. Terjadi konflik/ permasalahan antar warga (yang mau mengungsi dan tidak mau mengungsi).
Organisasi ektra : ikut membantu evakuasi masyarakat untuk mengungsi.
LSM :
- Membantu pemulihan kesehatan masyarakat setelah pulang dari pengungsian maupun saat di pengungsian
- Membantu senbilan bahan pokok
- Membantu alat-alat sekolah
4. Tingkat kesadaran masyarakat yang sangat kurang untuk berbuat social


Tanggapan fasilitator :
1. Ada permasalahan antara yang mengungsi dan tidak mengungsi (mengarah konflik social)
2. Kesadaran masyarakat kurang akan bahaya / ancaman bencana
3. Saat terjadi letusan kelud , berdasarkan pengalaman, masyarakat kehilangan penghasilan, disebabkan hilangnya: asset ekonomi (lahan pertanian rusak), asset social (ada konflik karena pemahaman yang beragam), asset sumber daya air rusak.

Fasilitator kemudian menjelaskan tentang UU No. 24 Th. 2007 : BAB V Tentang hak dan kewajiban masyarakat, Bagian Kesatu Hak Masyarakat pada Pasal 26 dan Bagian Kedua pada Kewajiban Masyarakat Pasal 27

(1) Setiap orang berhak:
a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana.
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.

(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.
Pasal 27
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan
c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.

Belajar dari pengalaman daerah lain: saat gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta 2006, ada mobilisasi warga Klaten untuk memberi bantuan. Waktu itu ada kesadaran bahwa “Pitulungan kang apik iku dumunung ing diri pribadi, ora saka pawehing liyan”. Maksudnya dalaha bahwa pertolongan terbaik itu sebenarnya berasal dari masyarakat sendiri (otonom) bukan dari masyarakat luar (tergantung).
Sehingga pada saat itu gempa Purworejo (Bukit Menoreh) 11 Juni 2006, mampu memobilisasi bantuan warga gempa di Klaten dengan menyumbang bambo untuk pembuatan rumah sementara. Hasil nyata dari bantuan tersebut di 6 (enam) desa di Bantul dapat direhab 32 rumah, 3 sekolah, 1 musholla, 1 lumbung, 1 perpustakaan, 1 balai rembug warga.
Akan tetapi, proses ini dihancurkan oleh kekuatan asing yang datang dan membayar relawan yang sebelumnya bekerja tanpa mengharap upah. Sehingga terjadi perubahan orientasi dari relawan menjadi bayaran. Ini megakibatkan rusaknya tatanan sosial yang sudah terbangun. Karena semua hal sudah harus dinilai dengan uang. Tidak ada yang gratis. Tidak ada semangat Relawan.
Pelajaran lain yaitu bahwa bencana sekarang banyak dimanfaatkan oleh partai politik (Parpol) maupun organisasi massa (Ormas) untuk mencari popularitas atau numpang populer dengan memasang identitas mereka berupa bendera maupun spanduk yang bersebaran di sekitar daerah bencana. Bahkan terkadang, bantuan yang diberikan sangat minim bahkan tidak ada sama sekali.
Dari bencana yang terajadi dapat dilihat bahwa sebenarnya masyarakat yang bersangkutan rentan atau tidak. Contohnya saja banjir yang baru saja terjadi di Desa Sepawon. Orang-orang yang rumahnya berada di lokasi yang terkena banjir adalah kelompok rentan. Sementara, yang tidak berada di wilayah banjir adalah kelompok yang tidak rentan. Bagaimana untuk mengurang kerentanan ini.
Beberapa solusinya adalah:
1. Pindah rumah ke lokasi di luar daerah sasaran banjir. Namun, hal ini bisa meimbulkan masalah baru karena warga Sepawon memang tidak memiliki lahan sendiri. Warga, numpang di lahan HGU PTPN XII (Magersari). Jadi tidak mungkin mereka pindah
2. Membuat tanggul untuk melindungi pemukuman warga dan lokasi ternak warga dari arus banjir. Solusi ini bisa membutuhkan biaya besar, tetapi tidak menjamin apakah bisa mereduksi ancaman
3. Melakukan reboisasi. Dengan menanami wilayah hutan yang sudah gundul adalah jawaban paling masuk akal dan sangat bisa dilakukan oleh masyarakat. Tetapi hal ini juga memunculkan dilema tersendiri. Karena lahan yang gundul ini masuk dalam wilayah HGU PTPN XII. Bahkan, gundulnya hutan ini karena penebangan lahan sengon oleh PTPN. Sehingga penebangan dalam area yang relative luas merupan salah satu agenda rutin PTPN saat memanen sengon yang menyebabkan banjir.
4. Membuat kanal. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kerja bakti warga. Dengan kanal/saluran air, aliran banjir bisa dialihkan agar tidak melewati pemukiman penduduk dan lokasi ternak penduduk.
Lalu berikutnya adalah bagaimana membangun kapasitas untuk mengurangi resiko. Contohnya kalau desain atap rumah yang lebih lancip adalah sebuah upaya/kearifan local yang sudah mulai dilakukan warga dalam upaya megurangi resiko bencana akibat letusan kelud. Desain atap ini dimaksudkan agar material yang jatuh menimpa atap bisa langsung jatuh dan tidak membuat beban yang berlebihan bagi bangunan rumah.
Dari peserta ada pertanyaan peserta berharap ada materi tentang cara menjelaskan kepada warga tentang ancaman letusan Kelud. Bagaimana warga mau di evakuasi saat aktivitas Kelud menigkat.
Karena selama ini warga cenderung tidak menggubris peringatan aparat termasuk tokoh-tokoh masyarakat yang menginstruksikan warga untuk mengungsi. Karena masyarakat masih percaya pengan keyakinan mistik atau tanda-tanda yang sekarang dianggap kuno/tradisional dan tidak modern.
Fasilitator menanggapi bahwa sekarang sudah ada pergeseran pemahaman. Pengetahuan lokal yang selama ini sudah bertahan puluhan tahun dan sudah terbukti kebenarannya dalam beberapa kali letusan Kelud berusaha digeser dengan pengetahuan modern, yang lebih mengandalkan alat canggih yang pembuatannya sendiri mungkin tidak pernah di uji di Gunung Kelud.
Pengetahuan lokal ini bukan mistik atau tanpa dasar atau kuno. Misal jika gunung kelud akan meletus, maka suara-suara jangkrik akan berhenti, burung-burung berhenti berkicau, binatang-binatang hutan turun. Sekali lagi ini bukan mistik, ini juga ilmiah dan bisa dijelaskan. Namun, kini ilmu pengetahuan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan ilmu titen ini mulai terkikis oleh pengetahuan dari luar yang dianggap lebih modern.
Celakanya pemerintah yang memang memiliki wewenang dan tanggung jawab utama justru lebih memilih lebih percaya dengan teknologi dari luar tersebut. Sementara sebagian besar masyarakat masih percaya dengan ilmu titen.

8 Responses to “Workshop DRR”

Seno said...

Tadinya kirain DPR he..he.. DRR itu apa sih, maklum wong ndeso he..eh.. g paham

Batos said...

DRR (Disaster Risk Reduction) adalah sebuah program pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat. fokus dari program ini adalah penguatan kapasitas masyarakat berbasis potensi lokal. ending yg dihararapkan masyarakat di daerah rawan bencana memiliki kemandirian dalam meminimalisir resiko bencana dalam jangka panjang..
salam...

aku juga suka mengikuti workshop, terlebih kalo soal kepenulisan..

Batos said...

kami juga sangat konsen untuk membuat tulisan2 tentang kegiatan pemberdayaan masyarakat. jika ada yang mau sharing, silakan kirim ke emai kami: surya_sejahtera_kediri@yahoo.com

Batos said...

kami sangat berharap masukan dan kritikan dari semua pengunjung blog ini, terimakasih sebelumnya
salam,

Haris said...

Bagus sekali programnya. Jika berjalan dengan baik, bisa membuat masyarakat lebih siap mental dan mandiri.

ala said...

betul kata mas erik. Paling bagus memang memberdayakan masyarakat untuk mandiri.
btw, tukeran link yuk...

Anonymous said...

memang sudah saatnya rakyat lebih ambil peran dalam pembangunan, jangan hanya jadi obyek saja