KONFLIK TANAH SEMPU: ANTARA BISNIS & POLITIS

Dalam sengketa tanah antara PT. Perkebunan Sumber Sari Petung dengan masyarakat di tiga desa yaitu Sempu, Sugehwaras, dan Babadan ini tidak kunjung selesai. Hal ini dikarenakan adanya kemenangan gugatan di tingkat Mahkamah Agung dari pihak Perkebunan terhadap kebijakan BPN yang telah mengeluarkan SK BPN No.66/HGU/2000 tentang redistribusi lahan kepada warga di tiga desa sebesar 250 ha.
Buntut kemenangan gugatan PT. Sumber Sari Petung ini membawa angin segar bagi pihak perkebunan untuk melakukan tindakan untuk menguasai lagi tanah yang selama sembilan tahun telah dikuasai warga di tiga desa.

Langkah awal yang dilakukan pihak perkebunan adalah mempermasalahkan tentang ganti rugi tanaman cengkeh yang dianggap ada kesalahan dan tidak sesuai dengan prosedur.
Padahal setelah SK BPN No. 66/HGU/2000 dikeluarkan dan tanah seluas 250 ha. dikuasai warga, juga ditindak lanjuti dengan sudah ada kesepakatan dengan pihak perkebunan dan di mediasi oleh Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri Kediri tentang ganti rugi tanaman cengkeh yang berada diatas tanah sengketa.
Dari pertemuan tersebut muncul kesepakatan kedua belah pihak dengan warga melakukan ganti rugi atas tanaman cengkeh dengan membayar pada perkebunan tiap satu pohon kelas A Rp. 35.000,- Kelas B 25.000,- kelas C 20.000,- dan telah dibayarkan pada perkebunan. Setelah perkebunan menerima ganti warga secara hukum sudah mempunyai hak atas tanaman diatas tanah yang disengketakan.

Tetapi setelah tiga tahun perkebunan menerima ganti rugi perkebunan mengembalikan dengan alasan ada kesalahan dan tidak sesuai prosedur. Pengembalian uang ganti rugi lewat pengadilan dan tanggapan dan sikap warga tidak mau menerima pengembalian dari perkebunan. Warga berpendapat bahwa proses ganti rugi sudah sesuai prosedur yang telah disepakati bersama, dan akhirnya uang pengembalian tersebut di titipkan di Pengadilan Negeri Kediri.

Dasar yang dipakai warga adalah sudah melakukan pembayaran ganti rugi tegakan atau tanaman cengkeh adalah yang di tetapkan Pengadilan Negeri Kediri pada stanggal 20 Februari 2002. Selain itu juga karena sudah tiga tahun uang ganti rugi dimanfaatkan oleh perkebunan, dan warga berpendapat bahwa proses pengembalian oleh perkebunan adalah siasat perkebunan untuk hanya memanfaatkan uang warga untuk kepentingan perkebunan, ujar Sugianto (kepala desa Sempu).

Sedangkan pihak PT Sumber Sari Petung mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK 28/DJA/1974 tentang perubahan / penyesuaian Panitya Penaksiran Ganti Rugi Perkebunan. Artinya bahwa yang telah dilakukan dalam kesepakatan sebelumnya tidak sesuai prosedur dan dari kedua pendapat tersebut masing-masing mempunyai dasar sebagai acuan mempertahankan tanaman cengkeh.

Setelah perkebunan berhasil dalam gugatan melawan BPN ditingkat Mahkamah Agung, perkebunan terus melakukan usaha-usaha bagaimana menguasai tanaman dan tanahnya kembali. Seperti menyebarkan kekalahan BPN di tingkat Mahkamah agung pada warga. Setelah masyarakat mengetahui tentang kekalahan tersebut, banyak yang ketakutan dan tak jarang ada usaha-usaha untuk meenjual tanah yang telah dikuasai selama sembilan tahun.

Mensikapi kekalahan tersebut tokoh-tokoh dari Paguyuban Petani Tri Sakti tetap menjaga semangat para warga untuk bertahan dan mengatakan bahwa kita belum kalah dan masih panjang proses perjuangan ini, karena BPN Pusat tidak tinggal diam dan berusaha untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas keputusan Mahkamah Agung yang telah memenangkan pihak perkebunan.

Sengketa tanah yang terjadi antara PT. Perkebunan Sumber Sari Petung dengan masyarakat di tiga desa yaitu Sempu, Sugehwaras, dan Babadan yang juga berdampak terhadap roda organisasi masyarakat Tekad Hangudi mulyo (THM) yang ada di desa Sempu. Hal ini karena dalam organisasi Tekad Hangudi mulyo (THM) anggotanya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Latar belakang anggota ini yang menjadi pemicu lambatnya kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan oleh THM untuk kemandirian masyarakat dalam pengurangan resiko bencana. Konflik merembet pula antara anggota yang berasal dari karyawan perkebunan inilah yang menyebabkan dan dari kelompok warga yang memperjuangkan tanah.

Beberapa konflik yang terjadi di THM bahkan sudah tidak bisa dinalar lagi . Pertama pencopotan paksa karyawan perkebunan dari anggota BPD. Setelah kejadian panen yang hanya setengah hari oleh perkebunan dengan ratusan personel dari kepolisian, memunculkan ketakutan dan kemarahan yang mendalam pada warga di tiga desa terutama di desa Sempu yaitu di Dusun Sumber Petung dan dan Ringinsari.

Ketika malam harinya warga pendukung perjuangan atas tanah yang melawan perkebunan secara spontan bersama-sama mendatangi rumah orang yang bekerja di Perkebunan yaitu Purwanto dan Sugeng, tujuan warga adalah memaksa Purwanto dan Sugeng untuk melepaskan jabatan sebagai Badan Permusywaratan Desa (BPD).
Amarah warga ini dikarenakan dipicu pada saat iring-iringan personel Kepolisian dan karyawan perkebunan memanen cengkeh warga dan secara otomatis sebagai karyawan perkebunan Purwanto dan Sugeng ikut serta mengawal orang-orang yang ditugaskan memanen cengkeh.

Dengan bermodalkan kertas folio, bolpoin dan meterai warga berbondong-bondong mendatangi rumah Purwanto dan Sugeng supaya mengundurkan diri dari jabatan BPD dari perwakilan dusun Sumber Petung. Ketika dirumah Sugeng, perwakilan yang masuk kerumah dan warga yang lainnya menunggu diluar. Selanjutnya Sugeng diberi dua alternatif yaitu ikut bersama-sama berjuang bersama warga untuk melawan perkebunan atau mengundurkan diri dari BPD. Dari pilihan itu Sugeng memilih melepaskan jabatanya sebagai BPD dari pada melepaskan pekerjaannya sebagai karyawan kebun.
Purwanto adalah ketua BPD desa sempu dan ketika di datangi oleh para warga cuma bisa berkata, kalau ini memang keinginan dari warga ya tidak apa-apa dan saya kembalikan lagi jabatan ini sepenuhnya pada warga.

Setelah itu akhirnya berkembang dan warga pergi ke rumah Sukadi yang juga anggota BPD, ketika berada dirumah Sukadi warga ditemui oleh oleh istri Sukadi dan setelah dijelaskan tentang kedatangan warga yang mengusulkan agar Sukadi mengundurkan diri dari keanggotaan BPD desa Sempu. Istri Sukadi tidak terima atas usulan warga karena merasa tidak ada hubungannya dengan kasus yang dihadapi warga melawan perkebunan, karena sukadi sebetulnya bukanlah pegawai dari perkebunan Sumber Sari Petung akan tetapi Sukadi bekerja di PTPN XII Ngrangkah Pawon di Kec. Plosoklaten.

Setelah berada dirumah dan bertemu dengan warga Sukadi juga berpendapat tidak bersalah dan merasa tidak terima atas perlakuan warga. Dan sukadi mengusulkan kalau mau mengundurkan diri dengan mekanisme yang sesuai dan disepakati di peraturan kelembagaan BPD. Akhirnya ketika warga berada dirumah Sukadi hadir kaur Kesra desa Sempu, artinya Kaur Kesra lebih sebagai penengah dari keinginan warga dan harapan Sukadi. Sedangkan alasan warga menginginkan Sukadi mengundurkan diri karena tidak pernah ikut kegiatan-kegiatan warga dalam sengketa tanah melawan perkebunan, dan sukadi pada akhirnya juga merelakan jabatan sebagai BPD di Desa Sempu.

Konflik lain yang di luar nalar adalah boikot TPA. Taman Pendidikan Alquran (TPA) tempat salah satu istri anggota karyawan perkebunan mengajar ngaji, dengan adanya konflik ini sebagian besar anak-anak warga yang pro perjuangan dipindah ke Taman Pendidikan Al Quran (TPA) yang lain yang ada di desa sempu.
kampung jadi sepi. Orang malas keluar malam. Sikap boikot sering terjadi. Misal ketika karyawan perkebunan punya hajatan pernikahan dan kematian, banyak orang yang memilih tinggal dirumah daripada nanti dimusuhi orang-orang satu kampung. Jadi situasi ini sepertinya akan berlangsung lama sebelum ada keputusan hukum yang pasti.
Selain dampak konflik dimasyarakat yang telah membuat suasana tidak tentram damai, ini juga dirasakan pada organisasi Tekad Hangudi Mulyo (THM), karena kita sudah tiga kali melakukan pertemuan arisan rutinan satu bulan sekali selalu sangat sedikit anggota THM yang datang dan semakin menyusut yang hadir.

Menurut Mbah Suko, bahwa turunya semangat dari anggota THM karena dampak konfik tanah yang terjadi saat ini dan ini terjadi karena dalam THM ada anggota yang berasal dari istri karyawan perkebunan. Sehingga masyarakat tidak mau ambil resiko dan memilih diam daripada nanti dimusuhi oleh anggota masyarakat yang lain.
Dari masalah tersebut, sampai saat ini anggota dari THM belum menemukan solusi yang tepat untuk bisa keluar dari konflik yang tidak tahu penyelesaianya sampai kapan. Karena ketika nanti melakukan kegiatan program Pengurangan Resiko Bencana dengan program-program yang telah disepakati dan melibatkan anggota keseluruhan sangat tidak mungkin karena nantinya akan menambah konflik ini tambah memanas dan kemungkinan besar kalau dipaksa untuk dilakukan pasti orang-rang tidak yang terlibat, ujar heri.

Dari beberapa waktu dan ketika berkumpul dengan beberapa anggota THM ada kesepakatan yang intinya untuk sementara ini tidak melakukan program yang telah dilaksanakan tahun pertama seperti program pengelolaan makanan kecil berbasis lokal, seperti pembuatan dodol nanas dan kripik umbi bote kelompok ibu-ibu yang dikoordinatori Suliasih untuk sementara dihentikan karena konflik tersebut.

Suliasih juga berkomentar, ketika mulainya konflik semua berubah total, bangunan kebersamaan yang telah dibangun selama satu tahun dengan tujuan upaya peningkatan kapasitas untuk membangun desa dalam wadah Tekad Hangudi Mulyo (THM), berubah menjadi sebuah permusuhan. Jadi pada saat ini saya dan keluarga menjadi musuh bersama oleh masyarakat yang ada di dusun Sumber Petung, jadi semua aktivitas ketika sebelum terjadi konflik seperti pengajian rutin, jamiyah Sholawat Diba’ dan arisan ibu-ibu tidak bisa saya lakukan karena warga seperti sudah kompak memusuhi dan mengucilkan dan bahkan membuat jamiyah tandingan kalau saya masih ikut dalam jam’iyah pengajian atau sholawat Diba’, dan setelah diselidiki ternyata yang menggerakkan adalah orang yang sebelumnya juga bergabung di Tekad Hangudi Mulyo.

One response to “KONFLIK TANAH SEMPU: ANTARA BISNIS & POLITIS”

Ifendayu said...

Saya adalah salah satu warga desa Sempu,
Tapi jujur saja, saya kurang suka dengan tindakan warga mencampuradukkan semua masalah, tanpa memilah-milah,
justru dari sini terlihat bahwa warga belum memiliki ketegasan,pendirian serta kebijaksanaan,cenderung ikut-ikutan saja.
Di desa Sempu memang rasa persatuan warga sangat kental, apalagi para pemudanya, namun sering kali emosi tak terkontrol sehingga menimbulkan pertikaian bahkan perkelahian, kalau sudah seperti ini bukan saatnya menyalahkan orang lain,semua terpulang pada diri sendiri, kawal emosi untuk mengendalikan hati,untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.Salam sejahtera untuk desa tercinta.Yayuk Noviasih(ifendayu).
numpang link sekali:http://regional.kompasiana.com/2011/02/24/kembalikan-hak-rakyat-kembalikan-senyum-nenek-moyang-kami/