Sejauh ini, belum ada satupun Badan Penganggulangan Bencana, baik dari tingkat nasional maupun daerah yang memiliki Tim Pengarah,” kata Saleh Abdullah dari INSIST pada pada diskusi refleksi memperingati satu tahun bencana letusan Merapi 2010. Dalam diskusi yang diselenggarakan di Gedung Muhammadiyah pada 10 Nopember 2011 itu, pembicara lainnya adalah Budi Setyawan dari Lembaga Penganggulangan bencana PP Muhammadiyah dan Urip Bahagia, Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman.
“
Keengganan itu, menurut Saleh, menunjukkan pemerintah dan BPBD di banyak daerah belum sepenuhnya mampu melibatkan masyarakat dalam manajemen bencana. “Meskipun keberadaan Tim Pengarah sudah dimandatkan oleh UU 24/2007, mereka tidak mau repot, dan tidak ingin memikul dampak strategis dari partisipasi itu..” UU 24/2007 menyebutkan Tim Pengarah harus dibentuk melalui pemilihan dan uji kepantasan dan kelayakan (fit and proper test) untuk merekrut anggota yang mewakili unsur-unsur pemerintah, masyarakat sipil dan profesional. Peran tim ini sangat strategis sebagai sumber yang harus diajak bicara oleh pemerintah dan manakala bencana seperti letusan Merapi terjadi lagi.
“Ini memang tidak mudah” kata Urip. “Mereka berhak atas imbalan dalam bentuk gaji secara rutin. Namun, pekerjaan mereka tidak rutin. Bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah ini?”
Sehubungan dengan itu, lembaga internasional yang peduli pada partisipasi aktor bukan-negara perlu menekan pemerintah untuk segera membentuk Tim Pengarah (dengan penakanan pada partisipasi aktor non-negara seperti profesional, komunitas dan organisasi masyarakat sipil) mulai dari tingkat nasional sampai daerah. Dalam hal kebencanaan, ini mestinya menjadi perhatian semua pihak, ketika bencana terjadi ataupun baik pada saat upaya pencegahan digerakkan.
Warga desa, termasuk perempuan, melakukan kerja-kerja rekonstruksi pasca bencana di desa masing-masing --di Balerante, Kabupaten Klaten (gambar atas) dan Keningar, Magelang (bawah), dua dari beberapa desa yang paling menderita akibat letusan Gunung Merapi pada bulan Oktober-November 2010. Di beberapa desa lain, seperti Glagaharjo di Sleman, Yogyakarta, rekonstruksi berjalan sangat lamban karena pemerintah belum juga mampu menyelesaikan beberapa masalah yang dipertentangkan, seperti soal rencana relokasi warga.
Berkaitan dengan masalah partisipasi masyarakat sipil, Carlijn Grinwis dari INSIST menghadiri forum diskusi kebijakan bertajuk Community Action for Resilience di jakarta pada 14 dan 15 November di Jakarta. Laporan bersama dari Bank Dunia dan PBB berjudul Natural Hazard, UnNatural Disaster menyebutkan bahwa agenda pencegahan bencana mensyaratkan aksi nyata pada semua lapisan, mulai dari tingkat lokal sampai global.
Menanggapi laporan itu, Global Facility for Disaster Risk Reduction (GFDRR) menyelenggarakan konsultasi dengan masyarakat sipil untuk menelusur seberapa jauh organisasi itu bisa mengembangkan kerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat warga. GFDRR, berkerjasama dengan UN International Strategy for Disaster Risk Reduction Secretariat (UNISDR) menggelar forum diskusi kebijakan itu untuk membicarakan tantangan dan peluang membangun ketahanan (resilience) di komunitas-komunitas yang rentan, melacak kemajuannya dan membangun kaitan dengan kebijakan dan proses pembeuatannya di tingkat nasional.
GFDRR yang didirikan pada tahun 2006 merupakan hasil kerjasama 38 negara dan 7 organisasi internasional yang bekerja untuk membantu negara-negara sedang berkambang mengurangi kerentanan terhadap ancaman bencana dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Forum diskusi kebijakan itu bertujuan untuk menunjukkan kegiatan, mendorong pertukaran pengetahuan, sekaligus memperlihatkan berbagai tantangan dalam pelaksanaan penguranan risiko bencana di tingkat daerah. Pesan terpenting dari forum ini akan disampaian ke GFDRR Consultative Group pada 17 dan 18 November 2011. Forum Kebijakan ini unik karena pada kesempatan itu perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil bisa duduk bersama-sama untuk berdiskusi.
Pada kesempatan itu hadir juga pembicara dari UNISDR, Bank Dunia, International Recovery Platform (IRP) dan Global Network of Civil Society Organizations for Disaster Reduction (GNDR). Perwakilan dari seluruh dunia, antara lain dari Malawi, Senegal, Papua Nugini, Thailand dan Belanda serta Inggris, hadir pada forum itu.
Di hari pertama, 14 November 2011, digelar empat sesi berbeda yang menghadirkan sejumlah pembicara dengan berbagai latar belakang. Tema pokok sepanjang sesi itu mencakup kesenjangan antara kebijakan di tingkat pusat dan aksi di tingkat daerah, pengembangan dan dukungan untuk kapasitas lokal, inklusi dan partisipasi, serta menjawab kebutuhan komunitas pasca bencana.
Dalam sesi-sesi diskusi yang diselenggarakan, utusan dari berbagai negara menguraikan pengalaman di negara masing-masing, termasuk tsunami Mentawai dan erupsi Merapi tahun 2010. Pada sesi mengenai pemahaman terhadap risiko, mereka mengeksplorasi bermacam teknik penilaian risiko seperti Open Data for Resilience Initiative, Balloon Mapping dan Open Street Mapping. Sayangnya, meskipun merupakan prakarsa yang sangat menarik, ORNOP lokal tidak memiliki akses atau pengetahuan mengenai teknik-teknik itu sehingga pelaksanaanya di lapangan terhambat. Lebih dari itu, ditekankan juga bahwa tata kelola pemerintahan yang baik, manajemen informasi, kordinasi dan partisipasi, sangatlah penting pada proses pemulihan. Investasi baru juga harus dilakukan untuk memperluas inovasi berbasis komunitas dan jaringan pekerja pengurangan resiko bencana (PRB) di tingkat lokal untuk mendorong terobosan, kerjasama dan pembelajaran.
Salah satu poster dari Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) INSIST untuk menggerakkan para warga di desa-desa tertimpa bencana Merapi 2010 untuk segera memulai prakarsa membangun kembali desa-desa mereka sendiri, segera setelah pemerintah secara resmi menyatakan tahap tanggap-darurat (emergency response) sudah berakhir pada bulan Januari 2011.
Di hari berikutnya, tema pokok yang dibahas adalah 'Penjajakan Kebutuhan Pasca Bencana' (Post Disaster Need Assessment, PDRA) yang saat ini menjadi piranti utama perencanaan pemulihan secara internasional. Peserta yang terdiri dari perwakilan berbagai negara, praktisi dan lembaga-lembaga mitra dalam perencanaan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana, membahas tantangan dan peluang untuk mengembangkan PDNA dan efektifitasnya dalam mendukung agenda pembangunan pasca bencana yang mampu meningkatkan daya-pulih masyarakat setempat. Hadir dalam kesempatan itu Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR), Kuntoro Mangkusubroto yang memimpin proses pemulihan Aceh pasca tsunami 2004. Dalam presentasinya, ia menekankan kesalahan bisa terjadi pada setiap langkah yang diambil. Oleh karenanya, menurut Kuntoro, penjajakan (assessment) menjadi sangat penting dan suatu rencana induk selalu diperlukan sebagai panduan proses pemulihan. Belajar dari pengalaman, ia menegaskan bahwa "...kita harus terus menjaga cara berfikir penanganan krisis (crisis mindset), membangun kembali dengan lebih baik pada setiap kesempatan dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas." Presentasi Kuntoro dilajutkan dengan elaborasi pengalaman PDNA di berbagai negara.
Berikutnya, Marcus Oxley, Ketua Global Network of Cisil Society Organisation for Disaster Risk Reduciton (GNDRR), menekankan bahwa sampai saat ini masih terlihat kurangnya tanggapan terhadap faktor-faktor risiko yang menjadi akar dari berbagai isu kebencanaan. Ia menghimbau para praktisi untuk mengisi kekurangan itu. Selain itu, ia juga menandaskan bahwa masyarakt sipil harus terlibat dalam pembuatan kebijakan. “Berikan tanggungjawab dan wewenang kepada masyarakat, percayai mereka untuk membangun kembali dengan lebih baik, karena mereka tinggal di wilayah yang terdampak oleh bencana.”
Pelajaran dari berbagai pengalaman menandakan bahwa 'Penjajagan Kebutuhan Pemulihan Kemanusiaan' (Human Recovery Needs Assessment, HRNA) harus menjadi bagian dari PDNA untuk menilai dampak dan kebutuhan terhadap akses, fungsi dan risiko. Berikutnya, partisipasi multipihak dan kepemimpinan yang baik sangat direkomendasikan dalam pelaksanaan PDNA.
Rangkaian kegiatan hari itu ditutup dengan diskusi yang dihadiri oleh berbagai perwakilan masyarakat sipil mengenai masalah-masalah berkaitan degan PDNA dan pemulihan pasca bencana pada umumnya. Masukan dari mereka diminta oleh GFDRR untuk disampaikan kepada Consultative Group yang dilaksanakan pada 17 dan 18 November 2011 di Jakarta. Seluruh masukan itu diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan berbagai kebijakan internasional mengenai PRB dan perubahan iklim.
INSIST percaya bahwa semua itu adalah prakarsa yang baik dari GFDRR dalam memotret seluruh pengalaman di tingkat lokal untuk menjawab kesenjangan antara kebijakan nasional dan tindakan di tingkat daerah. Lebih dari itu, pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara sesama praktisi di tingkat nternasional sunguh suatu pross yang menarik. Hanya saja, memang diperlukan waktu lebih panjang untuk melihat apakah Forum Kebijakan itu akan memberikan manfaat bagi diskusi yang sedang berputar saat ini mengenai pemulihan pasca bencana dan PRB.** (sumber: insist.or.id)
3 Responses to “Pelibatan Masyarakat Warga”
must look at this Emmbwmyh [URL=http://www.camera--lenses.com/]canon 75-300mm iii[/URL] for gift ATZZRekV [URL=http://www.camera--lenses.com/ ] http://www.camera--lenses.com/ [/URL]
look at aKbxnSfb [URL=http://www.cheapdesigner--handbags.weebly.com/]designer outlet[/URL] with low price CkKLNUuK [URL=http://www.cheapdesigner--handbags.weebly.com/ ] http://www.cheapdesigner--handbags.weebly.com/ [/URL]
ini nih yang perlu di kembangkan..
Post a Comment