Sejauh ini, belum ada satupun Badan Penganggulangan Bencana, baik dari tingkat nasional maupun daerah yang memiliki Tim Pengarah,” kata Saleh Abdullah dari INSIST pada pada diskusi refleksi memperingati satu tahun bencana letusan Merapi 2010. Dalam diskusi yang diselenggarakan di Gedung Muhammadiyah pada 10 Nopember 2011 itu, pembicara lainnya adalah Budi Setyawan dari Lembaga Penganggulangan bencana PP Muhammadiyah dan Urip Bahagia, Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman.
“
Keengganan itu, menurut Saleh, menunjukkan pemerintah dan BPBD di banyak daerah belum sepenuhnya mampu melibatkan masyarakat dalam manajemen bencana. “Meskipun keberadaan Tim Pengarah sudah dimandatkan oleh UU 24/2007, mereka tidak mau repot, dan tidak ingin memikul dampak strategis dari partisipasi itu..” UU 24/2007 menyebutkan Tim Pengarah harus dibentuk melalui pemilihan dan uji kepantasan dan kelayakan (fit and proper test) untuk merekrut anggota yang mewakili unsur-unsur pemerintah, masyarakat sipil dan profesional. Peran tim ini sangat strategis sebagai sumber yang harus diajak bicara oleh pemerintah dan manakala bencana seperti letusan Merapi terjadi lagi.
“Ini memang tidak mudah” kata Urip. “Mereka berhak atas imbalan dalam bentuk gaji secara rutin. Namun, pekerjaan mereka tidak rutin. Bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah ini?”
Sehubungan dengan itu, lembaga internasional yang peduli pada partisipasi aktor bukan-negara perlu menekan pemerintah untuk segera membentuk Tim Pengarah (dengan penakanan pada partisipasi aktor non-negara seperti profesional, komunitas dan organisasi masyarakat sipil) mulai dari tingkat nasional sampai daerah. Dalam hal kebencanaan, ini mestinya menjadi perhatian semua pihak, ketika bencana terjadi ataupun baik pada saat upaya pencegahan digerakkan.
Warga desa, termasuk perempuan, melakukan kerja-kerja rekonstruksi pasca bencana di desa masing-masing --di Balerante, Kabupaten Klaten (gambar atas) dan Keningar, Magelang (bawah), dua dari beberapa desa yang paling menderita akibat letusan Gunung Merapi pada bulan Oktober-November 2010. Di beberapa desa lain, seperti Glagaharjo di Sleman, Yogyakarta, rekonstruksi berjalan sangat lamban karena pemerintah belum juga mampu menyelesaikan beberapa masalah yang dipertentangkan, seperti soal rencana relokasi warga.
Berkaitan dengan masalah partisipasi masyarakat sipil, Carlijn Grinwis dari INSIST menghadiri forum diskusi kebijakan bertajuk Community Action for Resilience di jakarta pada 14 dan 15 November di Jakarta. Laporan bersama dari Bank Dunia dan PBB berjudul Natural Hazard, UnNatural Disaster menyebutkan bahwa agenda pencegahan bencana mensyaratkan aksi nyata pada semua lapisan, mulai dari tingkat lokal sampai global.
Menanggapi laporan itu, Global Facility for Disaster Risk Reduction (GFDRR) menyelenggarakan konsultasi dengan masyarakat sipil untuk menelusur seberapa jauh organisasi itu bisa mengembangkan kerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat warga. GFDRR, berkerjasama dengan UN International Strategy for Disaster Risk Reduction Secretariat (UNISDR) menggelar forum diskusi kebijakan itu untuk membicarakan tantangan dan peluang membangun ketahanan (resilience) di komunitas-komunitas yang rentan, melacak kemajuannya dan membangun kaitan dengan kebijakan dan proses pembeuatannya di tingkat nasional.
GFDRR yang didirikan pada tahun 2006 merupakan hasil kerjasama 38 negara dan 7 organisasi internasional yang bekerja untuk membantu negara-negara sedang berkambang mengurangi kerentanan terhadap ancaman bencana dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Forum diskusi kebijakan itu bertujuan untuk menunjukkan kegiatan, mendorong pertukaran pengetahuan, sekaligus memperlihatkan berbagai tantangan dalam pelaksanaan penguranan risiko bencana di tingkat daerah. Pesan terpenting dari forum ini akan disampaian ke GFDRR Consultative Group pada 17 dan 18 November 2011. Forum Kebijakan ini unik karena pada kesempatan itu perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil bisa duduk bersama-sama untuk berdiskusi.
Pada kesempatan itu hadir juga pembicara dari UNISDR, Bank Dunia, International Recovery Platform (IRP) dan Global Network of Civil Society Organizations for Disaster Reduction (GNDR). Perwakilan dari seluruh dunia, antara lain dari Malawi, Senegal, Papua Nugini, Thailand dan Belanda serta Inggris, hadir pada forum itu.
Di hari pertama, 14 November 2011, digelar empat sesi berbeda yang menghadirkan sejumlah pembicara dengan berbagai latar belakang. Tema pokok sepanjang sesi itu mencakup kesenjangan antara kebijakan di tingkat pusat dan aksi di tingkat daerah, pengembangan dan dukungan untuk kapasitas lokal, inklusi dan partisipasi, serta menjawab kebutuhan komunitas pasca bencana.
Dalam sesi-sesi diskusi yang diselenggarakan, utusan dari berbagai negara menguraikan pengalaman di negara masing-masing, termasuk tsunami Mentawai dan erupsi Merapi tahun 2010. Pada sesi mengenai pemahaman terhadap risiko, mereka mengeksplorasi bermacam teknik penilaian risiko seperti Open Data for Resilience Initiative, Balloon Mapping dan Open Street Mapping. Sayangnya, meskipun merupakan prakarsa yang sangat menarik, ORNOP lokal tidak memiliki akses atau pengetahuan mengenai teknik-teknik itu sehingga pelaksanaanya di lapangan terhambat. Lebih dari itu, ditekankan juga bahwa tata kelola pemerintahan yang baik, manajemen informasi, kordinasi dan partisipasi, sangatlah penting pada proses pemulihan. Investasi baru juga harus dilakukan untuk memperluas inovasi berbasis komunitas dan jaringan pekerja pengurangan resiko bencana (PRB) di tingkat lokal untuk mendorong terobosan, kerjasama dan pembelajaran.
Salah satu poster dari Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) INSIST untuk menggerakkan para warga di desa-desa tertimpa bencana Merapi 2010 untuk segera memulai prakarsa membangun kembali desa-desa mereka sendiri, segera setelah pemerintah secara resmi menyatakan tahap tanggap-darurat (emergency response) sudah berakhir pada bulan Januari 2011.
Di hari berikutnya, tema pokok yang dibahas adalah 'Penjajakan Kebutuhan Pasca Bencana' (Post Disaster Need Assessment, PDRA) yang saat ini menjadi piranti utama perencanaan pemulihan secara internasional. Peserta yang terdiri dari perwakilan berbagai negara, praktisi dan lembaga-lembaga mitra dalam perencanaan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana, membahas tantangan dan peluang untuk mengembangkan PDNA dan efektifitasnya dalam mendukung agenda pembangunan pasca bencana yang mampu meningkatkan daya-pulih masyarakat setempat. Hadir dalam kesempatan itu Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR), Kuntoro Mangkusubroto yang memimpin proses pemulihan Aceh pasca tsunami 2004. Dalam presentasinya, ia menekankan kesalahan bisa terjadi pada setiap langkah yang diambil. Oleh karenanya, menurut Kuntoro, penjajakan (assessment) menjadi sangat penting dan suatu rencana induk selalu diperlukan sebagai panduan proses pemulihan. Belajar dari pengalaman, ia menegaskan bahwa "...kita harus terus menjaga cara berfikir penanganan krisis (crisis mindset), membangun kembali dengan lebih baik pada setiap kesempatan dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas." Presentasi Kuntoro dilajutkan dengan elaborasi pengalaman PDNA di berbagai negara.
Berikutnya, Marcus Oxley, Ketua Global Network of Cisil Society Organisation for Disaster Risk Reduciton (GNDRR), menekankan bahwa sampai saat ini masih terlihat kurangnya tanggapan terhadap faktor-faktor risiko yang menjadi akar dari berbagai isu kebencanaan. Ia menghimbau para praktisi untuk mengisi kekurangan itu. Selain itu, ia juga menandaskan bahwa masyarakt sipil harus terlibat dalam pembuatan kebijakan. “Berikan tanggungjawab dan wewenang kepada masyarakat, percayai mereka untuk membangun kembali dengan lebih baik, karena mereka tinggal di wilayah yang terdampak oleh bencana.”
Pelajaran dari berbagai pengalaman menandakan bahwa 'Penjajagan Kebutuhan Pemulihan Kemanusiaan' (Human Recovery Needs Assessment, HRNA) harus menjadi bagian dari PDNA untuk menilai dampak dan kebutuhan terhadap akses, fungsi dan risiko. Berikutnya, partisipasi multipihak dan kepemimpinan yang baik sangat direkomendasikan dalam pelaksanaan PDNA.
Rangkaian kegiatan hari itu ditutup dengan diskusi yang dihadiri oleh berbagai perwakilan masyarakat sipil mengenai masalah-masalah berkaitan degan PDNA dan pemulihan pasca bencana pada umumnya. Masukan dari mereka diminta oleh GFDRR untuk disampaikan kepada Consultative Group yang dilaksanakan pada 17 dan 18 November 2011 di Jakarta. Seluruh masukan itu diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan berbagai kebijakan internasional mengenai PRB dan perubahan iklim.
INSIST percaya bahwa semua itu adalah prakarsa yang baik dari GFDRR dalam memotret seluruh pengalaman di tingkat lokal untuk menjawab kesenjangan antara kebijakan nasional dan tindakan di tingkat daerah. Lebih dari itu, pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara sesama praktisi di tingkat nternasional sunguh suatu pross yang menarik. Hanya saja, memang diperlukan waktu lebih panjang untuk melihat apakah Forum Kebijakan itu akan memberikan manfaat bagi diskusi yang sedang berputar saat ini mengenai pemulihan pasca bencana dan PRB.** (sumber: insist.or.id)
ReaD MorE...
Alat Pendeteksi Banjir Lahar Dingin Semeru Hilang
Alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru yang berada di Pedukuhan Besuk Kobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, hilang karena dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, Rochani, Selasa (27/12) mengatakan, pihaknya sudah mendapat informasi terkait dengan hilangnya alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru tersebut.
"Kami sangat menyayangkan hilangnya seperangkat alat pendeteksi dini banjir lahar dingin Semeru itu, padahal alat tersebut sangat dibutuhkan selama musim hujan ini," tuturnya.
Menurut dia, Kabupaten Lumajang memiliki sebanyak tiga alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru di daerah aliran sungai (DAS) Besuk Kembar, Besuk Sat, dan Besuk Kobokan, namun kini yang berfungsi hanya dua unit saja.
"Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pihak BPBD Lumajang menyiagakan sebanyak 20 sukarelawan di bantaran sungai untuk memantau debit air di DAS yang dilalui lahar dingin Semeru karena tidak ada lagi alat pendeteksi banjir lahar dingin di Besuk Kobokan," paparnya.
Ia berharap pihak Proyek Semeru bisa memasang kembali alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru tersebut, agar warga bisa lebih cepat mendapatkan informasi terkait banjir lahar dingin dan bisa diantisipasi sejak dini.
"Sejauh ini banjir lahar dingin di sejumlah daerah aliran sungai masih normal dan tidak meluap ke pemukiman warga di sekitar sungai," katanya.
Rochani mengemukakan, pihak BPBD mendapat informasi bahwa debit aliran lahar dingin di Sungai Glidik meningkat pada Minggu (25/12), namun aliran lahar dingin tidak meluap ke pemukiman warga.
Pemkab Lumajang menetapkan enam kecamatan masuk dalam zona merah bahaya lahar dingin Gunung Semeru yakni Kecamatan Pronojiwo, Tempursari, Pasirian, Candipuro, Pasrujambe dan Kecamatan Tempeh karena kecamatan tersebut dilalui tiga jalur utama aliran lahar dingin Gunung Semeru yakni DAS Mujur, DAS Glidik dan DAS Rejali.
Sementara Pejabat Pembuat Komitmen Pengendalian Lahar Gunung Semeru, Chairul Kustaal, mengatakan seperangkat alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru itu dicuri orang dengan cara merusak gembok pintu gudang.
"Peralatan tersebut dilengkapi lima buah aki, satu buah stafol, 15 meter kabel arde, dan 15 meter kabel antena. Kerugian hilangnya alat pendeteksi yang dipasang pada tahun 2000 itu ditaksir mencapai Rp7 juta," ucapnya.
Menurut dia, hilangnya seperangkat alat pendeteksi tersebut, akan menyulitkan pemantauan lahar dingin Gunung Semeru karena curah hujan selama bulan Desember dan Januari masih cukup tinggi. ReaD MorE...
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, Rochani, Selasa (27/12) mengatakan, pihaknya sudah mendapat informasi terkait dengan hilangnya alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru tersebut.
"Kami sangat menyayangkan hilangnya seperangkat alat pendeteksi dini banjir lahar dingin Semeru itu, padahal alat tersebut sangat dibutuhkan selama musim hujan ini," tuturnya.
Menurut dia, Kabupaten Lumajang memiliki sebanyak tiga alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru di daerah aliran sungai (DAS) Besuk Kembar, Besuk Sat, dan Besuk Kobokan, namun kini yang berfungsi hanya dua unit saja.
"Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pihak BPBD Lumajang menyiagakan sebanyak 20 sukarelawan di bantaran sungai untuk memantau debit air di DAS yang dilalui lahar dingin Semeru karena tidak ada lagi alat pendeteksi banjir lahar dingin di Besuk Kobokan," paparnya.
Ia berharap pihak Proyek Semeru bisa memasang kembali alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru tersebut, agar warga bisa lebih cepat mendapatkan informasi terkait banjir lahar dingin dan bisa diantisipasi sejak dini.
"Sejauh ini banjir lahar dingin di sejumlah daerah aliran sungai masih normal dan tidak meluap ke pemukiman warga di sekitar sungai," katanya.
Rochani mengemukakan, pihak BPBD mendapat informasi bahwa debit aliran lahar dingin di Sungai Glidik meningkat pada Minggu (25/12), namun aliran lahar dingin tidak meluap ke pemukiman warga.
Pemkab Lumajang menetapkan enam kecamatan masuk dalam zona merah bahaya lahar dingin Gunung Semeru yakni Kecamatan Pronojiwo, Tempursari, Pasirian, Candipuro, Pasrujambe dan Kecamatan Tempeh karena kecamatan tersebut dilalui tiga jalur utama aliran lahar dingin Gunung Semeru yakni DAS Mujur, DAS Glidik dan DAS Rejali.
Sementara Pejabat Pembuat Komitmen Pengendalian Lahar Gunung Semeru, Chairul Kustaal, mengatakan seperangkat alat pendeteksi banjir lahar dingin Semeru itu dicuri orang dengan cara merusak gembok pintu gudang.
"Peralatan tersebut dilengkapi lima buah aki, satu buah stafol, 15 meter kabel arde, dan 15 meter kabel antena. Kerugian hilangnya alat pendeteksi yang dipasang pada tahun 2000 itu ditaksir mencapai Rp7 juta," ucapnya.
Menurut dia, hilangnya seperangkat alat pendeteksi tersebut, akan menyulitkan pemantauan lahar dingin Gunung Semeru karena curah hujan selama bulan Desember dan Januari masih cukup tinggi. ReaD MorE...
INDONESIA IMPOR GARAM DAN SINGKONG,, GILA..!
Sebagian besar rakyat awam umumnya hanya tahu bahwa negeri ini sudah mengimpor beras yang merupakan bahan pangan pokok dan (konon!) pernah mencapai swasembada produksi dalam negeri. Tetapi, tidak banyak yang tahu apa saja dan berapa banyak lagi bahan pangan lainnya yang selama ini diimpor?
Pada minggu pertama Agustus 2011 baru lalu, hanya beberapa hari sebelum perayaan ke-66 Hari Kemerdekaan Nasional, Badan Pusat Statitik (BPS) baru saja menerbitkan data mutakhir mereka tentang impor pangan ini. Seperti yang dukutip dan diberitakan oleh media massa, data itu cukup membuat nafas terhenti sejenak. Dari sumber detilk.com, ikhtisar data impor pangan tersebut --selama Januari sampai Juli (Semester I) 2011-- dapat dirangkum sebagai berikut:
Bahan pangan lainnya yang diimpor adalah beras, jagung, kedelai, gandum dan tepung meslin, gula pasir, gula tebu, daging sejenis sapi, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, cengkeh, kakao, cabe kering, dan tembakau. Jumlah seluruhnya mencapai 11,33 juta ton dengan nilai impor $AS 5,36 milyar.
keluarga_petani_garam_takalarAnak-anak keluarga petani garam tradisional di pedalaman Takalar, Sulawesi Selatan... Mereka merayakan Hari Kemerdekaan untuk negara yang pemerintahnya lebih memilih jalan pintas mengimpor garam katimbang membantu orangtua mereka memperbaiki mutu dan meningkatkan produksi garam lokal.
Yang mengejutkan adalah alasan pembenaran di sebaliknya. Sebagaimana dikutip dan diberitakan oleh detik.com, Ketua Umum Asosiasi Pengekspor & Pengimpor Sayur Indonesia, Kafi Kurnia, mengakui bahwa "Ya, kita memang mengimpor garam juga dari Singapura, tetapi mereka lebih sabagai pedagang perantara... garamnya dari mana tidak tahu." Ia menambahkan bahwa garam yang diimpor dari Singapura adalah jenis garam industri, bukan garam konsumsi rumah tangga. Impor ini dilakukan karena produksi garam lokal oleh petani dalam negeri belum mampu menghasilkan garam industri bermutu tinggi yang tidak mudah menggumpal atau mengeras akibat penguapan kandungan airnya.
Sementara itu, Sudirman Saad, Direktur Jenderal PP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan yakin menegaskan bahwa "...tidak ada tambak garam di Singapura, sehingga kecil kemungkinan Indonesia mengimpor garam dari Negeri Singa itu." Dia menambahkan: "Sebenarnya, investasi untuk membuat garam berkualitas tinggi itu tidak mahal". Dia mencontohkan garam kualitas tinggi yang sudah diproduksi di Bali yang mampu menembus pasar ritel modern. Garam itu dikembangkan oleh investor asing yang mampu mengangkat nilai jual Bali karena dikemas dengan branding yang menarik.
Dua pernyataan itu menakjubkan. Masalahnya adalah bukan apakah SIngapura itu negara penghasil garam atau bukan. Persoalan intinya adalah fakta bahwa Indonesia --negara dengan garis pantai terpanjang di dunia-- sudah mengimpor garam! Kalau sudah tahu garam produksi petani lokal dalam negeri masih bermutu rendah, mengapa justru tidak habis-habisan melindungi dan membantu mereka meningkatkan mutu produknya? Mengapa justru dengan nada bangga menyebut-nyebut garam bermutu semacam itu sudah diproduksi di Bali, meskipun oleh investor asing? Sungguh suatu cara pikir khas jalan-pintas para pemburu rente, bukan mental produser bermartabat yang mampu menentukan nasib sendiri. (Beta Pettawaranie, 20/08/2011**) ReaD MorE...
Pada minggu pertama Agustus 2011 baru lalu, hanya beberapa hari sebelum perayaan ke-66 Hari Kemerdekaan Nasional, Badan Pusat Statitik (BPS) baru saja menerbitkan data mutakhir mereka tentang impor pangan ini. Seperti yang dukutip dan diberitakan oleh media massa, data itu cukup membuat nafas terhenti sejenak. Dari sumber detilk.com, ikhtisar data impor pangan tersebut --selama Januari sampai Juli (Semester I) 2011-- dapat dirangkum sebagai berikut:
No | Jenis Bahan Pangan | Diimpor dari (negara) | Jumlah impor (ton) | Nilai Impor (dollar AS) |
1 | Singkong (ubi kayu) | Italia | 1,78 | 20.064 |
Cina | 2,96 | 1.273 | ||
2 | Garam | Australia | 1.004.000 | 53.700.000 |
India, Singapura, Selandia Baru, Jerman | 741.120 | 39.840.000 | ||
3 | Daging ayam | Malaysia | 9,0 | 29.240 |
4 | Teh | Vietnam | 3.240 | 3.680.000 |
Kenya, Argentina, India, Cina | 1.007 | 3.320.000 | ||
5 | Cabe dingin-segar | Vietnam, India | 6.794 | 6.192.000 |
6 | Bawang putih | Cina, Taiwan | 178.900 | 132.770.000 |
7 | Bawang merah | India. Thailand, Filipina | 141.795 | 67.611.000 |
Bahan pangan lainnya yang diimpor adalah beras, jagung, kedelai, gandum dan tepung meslin, gula pasir, gula tebu, daging sejenis sapi, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, cengkeh, kakao, cabe kering, dan tembakau. Jumlah seluruhnya mencapai 11,33 juta ton dengan nilai impor $AS 5,36 milyar.
keluarga_petani_garam_takalarAnak-anak keluarga petani garam tradisional di pedalaman Takalar, Sulawesi Selatan... Mereka merayakan Hari Kemerdekaan untuk negara yang pemerintahnya lebih memilih jalan pintas mengimpor garam katimbang membantu orangtua mereka memperbaiki mutu dan meningkatkan produksi garam lokal.
Yang mengejutkan adalah alasan pembenaran di sebaliknya. Sebagaimana dikutip dan diberitakan oleh detik.com, Ketua Umum Asosiasi Pengekspor & Pengimpor Sayur Indonesia, Kafi Kurnia, mengakui bahwa "Ya, kita memang mengimpor garam juga dari Singapura, tetapi mereka lebih sabagai pedagang perantara... garamnya dari mana tidak tahu." Ia menambahkan bahwa garam yang diimpor dari Singapura adalah jenis garam industri, bukan garam konsumsi rumah tangga. Impor ini dilakukan karena produksi garam lokal oleh petani dalam negeri belum mampu menghasilkan garam industri bermutu tinggi yang tidak mudah menggumpal atau mengeras akibat penguapan kandungan airnya.
Sementara itu, Sudirman Saad, Direktur Jenderal PP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan yakin menegaskan bahwa "...tidak ada tambak garam di Singapura, sehingga kecil kemungkinan Indonesia mengimpor garam dari Negeri Singa itu." Dia menambahkan: "Sebenarnya, investasi untuk membuat garam berkualitas tinggi itu tidak mahal". Dia mencontohkan garam kualitas tinggi yang sudah diproduksi di Bali yang mampu menembus pasar ritel modern. Garam itu dikembangkan oleh investor asing yang mampu mengangkat nilai jual Bali karena dikemas dengan branding yang menarik.
Dua pernyataan itu menakjubkan. Masalahnya adalah bukan apakah SIngapura itu negara penghasil garam atau bukan. Persoalan intinya adalah fakta bahwa Indonesia --negara dengan garis pantai terpanjang di dunia-- sudah mengimpor garam! Kalau sudah tahu garam produksi petani lokal dalam negeri masih bermutu rendah, mengapa justru tidak habis-habisan melindungi dan membantu mereka meningkatkan mutu produknya? Mengapa justru dengan nada bangga menyebut-nyebut garam bermutu semacam itu sudah diproduksi di Bali, meskipun oleh investor asing? Sungguh suatu cara pikir khas jalan-pintas para pemburu rente, bukan mental produser bermartabat yang mampu menentukan nasib sendiri. (Beta Pettawaranie, 20/08/2011**) ReaD MorE...